Al-Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitab Al-Mizan al-Kubra (1/34) menulis: “Jika tuanku yang mulia Ali al-Khawwash rahimahullah ditanya oleh seseorang tentang mengikuti madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak, maka beliau menjawab, ‘Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir akan jatuh pada kesesatan’. Dan begitulah yang harus diamalkan oleh orang pada zaman ini.”[1]
Inilah
yang sering dilupakan oleh sebagian umat Islam saat ini. Mereka mempropagandakan
agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, langsung mengambil
hukum darinya tanpa melalui ijtihad para ulama, sedangkan mereka belum sampai
mengetahui inti agama. Imam Ali al-Khawwash telah mengingatkan kita agar
mengikuti suatu madzhab selama kita belum mencapai tingkat mujtahid. Seorang
yang awam, jika langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, lalu
mengeluarkan hukum dari keduanya tanpa mempertimbangkan bagaimana para ulama
mujtahid memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi rujukannya itu, maka
sangat dimungkinkan fatwa yang dikeluarkanya sesat dan menyesatkan.
Tidak Semua
Sahabat Nabi Ahli Fatwa
Ibnu
Khaldun dalam Muqaddimah-nya (hal. 216) berkata, “Tidaklah semua sahabat
itu ahli fatwa, dan agama pun tidak diambil dari mereka semua. (Agama) hanya
diambil secara khusus dari sahabat-sahabat yang menghafal Al-Qur’an dan
memahami kandungannya, yang mengetahui dengan baik persoalan nasikh dan mansukh,
mutasyabbih dan muhkam, dan penunjukan (pemahaman)-nya sebagaimana
yang mereka terima dari Rasulullah Saw atau dari orang-orang yang (langsung)
mendengar dari beliau, dan mereka dikenal dengan sebutan al Qurra’…”
Keterangan
Ibnu Khaldun ini memperlihatkan bahwa meskipun para sahabat adalah orang-orang
yang berjumpa dengan Rasulullah Saw (langsung ataupun tidak), namun setelah
wafatnya beliau, tidaklah secara otomatis mereka semua menjadi ahli agama Islam
yang berhak mengeluarkan fatwa. Dari ribuan sahabat yang ditinggalkan Nabi
(saat haji wada’ beliau berhaji bersama sekitar 124 ribu sahabat), hanya
sekitar 130 orang saja yang menjadi rujukan saat dibutuhkan fatwa, itu pun
dengan jumlah fatwa yang berbeda-beda; ada yang banyak fatwanya (sering
berfatwa), ada yang sedang-sedang saja, dan ada pula yang berfatwa sesekali
saja. Dari sekitar 130 orang sahabat itu, yang paling sering berfatwa hanya 7
orang saja, yakni Sayidina Umar bin Khaththab ra, Sayidina Ali bin Abi Thalib
ra, Sayidina Abdullah bin Mas’ud ra, Sayidina Abdullah bin Abbas ra, Sayidina
Zaid bin Tsabit ra, Sayidina Abdullah bin Umar ra, dan Sayidah Aisyah ra.
Perhatikanlah
keadaan para sahabat yang demikian itu, ternyata tidak semua mereka mampu
mengeluarkan saripati hukum syariat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Saat
Rasulullah Saw wafat, beliau meninggalkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bertebaran
tertulis pada tulang, pelepah, tembikar, batu atau apa saja yang bisa ditulis. Sementara
Hadits-hadits Nabi belum ditulis dan masih tersimpan di dalam dada para sahabat
dengan jumlah yang berbeda-beda.
Itulah
sebabnya saat mereka membutuhkan fatwa hukum, yang menjadi rujukan mereka
adalah sahabat yang memiliki pengetahuan luas tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dengan kata lain, para sahabat pun meminta fatwa kepada sahabat yang lain dan
ini menjadi bukti bahwa tidak semua sahabat ‘berani’ kembali kepada Al-Qur’an
dan As-Sunnah tanpa melalui sahabat yang termasuk golongan ahli fatwa.
Dari
sahabat golongan ahli fatwa inilah muncul apa yang kita kenal dengan Madzhab
(Qaul) ash-Shahabi. Dengan keluasan ilmu, mereka berijtihad dan mengajarkan
hasil ijthad mereka itu kepada murid-muridnya dan terus berlanjut dari generasi
ke generasi hingga memunculkan madzhab yang cukup banyak; dan yang bertahan
hingga saat ini hanyalah empat madzhab, yakni madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i
dan Hanbali.
Pengertian
Madzhab dan Sebab Munculnya
Secara
bahasa, madzhab artinya jalan (thariqah).[2]
Sedangkan secara istilah, madzhab adalah hukum dalam berbagai masalah yang
diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.[3] Karena
madzhab berkaitan dengan hukum, maka madzhab tidak mungkin terbentuk pada
persoalan-persoalan yang hukumnya sudah jelas (qath’i).
Tatkala
suatu persoalan dipertanyakan hukumnya dan tidak ada penjelasan secara qath’i
di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentangnya, di sinilah muncul ijtihad para
mujtahid setelah mempertimbangkan secara mendalam sumber-sumber hukum Islam
yang berlaku, lalu hasil ijtihad itu mereka ajarkan dan disebarluaskan serta
diamalkan oleh para pengikutnya. Walhasil, muncullah madzhab sebagaimana yang
kita kenal saat ini. Dengan demikian, madzhab pada hakikatnya adalah hasil
penelitian secara mendalam yang dilakukan oleh para ulama mujtahid untuk
mengetahui hukum Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, Al-Hadits serta
dalil-dalil lainnya.
Mengapa Hanya Empat
Madzhab?
Dalam
kitab Sullam al-Wushul dituliskan: “Nabi Saw bersabda, ‘Ikutilah as-
sawad al-a’zham (mayoritas umat Islam)’. Dan ketika madzhab-madzhab yang
benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat madzhab yang
pengikutnya tersebar luas, maka mengikutinya berarti mengikuti mayoritas, dan
keluar dari madzhab yang empat itu berarti keluar dari mayoritas.”[4]
Sebenarnya
madzhab yang boleh diikuti tidaklah terbatas hanya pada empat madzhab saja.
Masih banyak madzhab lainnya yang diterima umat Islam, seperti madzhab dua
Sufyan (Ats-Tsauri dan Uyainah), madzhab Ishaq bin Rahawaih, madzhab Az-Zhahiri
dan madzhab Al-awza’i.[5]
Namun Ahlussunnah wal Jama’ah hingga saat ini hanya menerima dan
mengamalkan fatwa-fatwa dari para imam madzhab yang empat. Setidaknya ada dua
faktor yang menyababkan itu terjadi.
Pertama,
kreativitas murid-murid imam madzhab yang empat. Para murid ini
mengumpulkan pendapat-pendapat imamnya, lalu menulis dan membukukannya sehingga
terkodifikasikan dengan baik. Para murid ini pun adalah orang-orang yang
terpercaya sehingga yang mereka tuliskan adalah yang benar-benar berasal dari
para imam mereka. Mereka pun secara jujur menyampaikan mana yang hasil ijtihad
para imam dan mana pula yang hasil ijtihad mereka sebagai murid. Walhasil,
validitas sumber fatwa-fatwa yang dituliskan itu tidak diragukan lagi.
Kedua,
madzhab yang empat ini telah teruji ke-shahihan-nya, karena
metode istinbath yang jelas dan sistematik. Hal ini menjadikan
fatwa-fatwa yang muncul dari empat madzhab ini dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Sayyid Alawi bin Ahmad as-Seggaf berkata, “…Para tokohnya (tokoh
madzhab yang empat) telah mencurahkan kemampuan mereka untuk meneliti setiap
pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya
atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa aman (tidak
merasa ragu atau khawatir) akan terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta
mereka juga mengetahui pendapat yang shahih dan yang dhaif.”[6]
Nah,
alasan-alasan inilah setidaknya yang menyebabkan kaum Ahlussunnah wal Jam’ah
memilih untuk menerima dan mengamalkan fatwa-fatwa dari madzhab yang empat;
sedangkan madzhab-madzhab lainnya hilang seiring berjalannya waktu karena tidak
ditopang oleh faktor-faktor sebagaimana yang dimiliki oleh madzhab yang empat.
Mengapa Harus
Bermadzhab?
Jawaban
sederhana dari sub judul di atas adalah karena kita belum memiliki kemampuan
untuk menjadi seorang mujtahid (orang yang berhak berijtihad). Sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya, bahkan seorang Muslim sekaliber para sahabat pun
tidak seluruhnya menjadi mujtahid. Sebagian besar dari mereka justru meminta
fatwa kepada sahabat-sahabat lainnya yang tergolong mujtahid, yang jumlahnya
sangat sedikit.
Jika
demikian kenyataannya, bagaimana dengan kita saat ini? Akankah setiap kita
berijtihad dengan langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang untuk
mengetahui arti ayat Al-Qur’an yang kita baca ataupun Al-Hadits harus membuka
terjemahnya? Kalau seperti itu kemampuan kita, layakkah kita mengajak umat
Islam ini untuk tidak bermadzhab dan mendorong mereka untuk langsung
mengeluarkan hukum dari kedua sumber utama hukum Islam itu?
Untuk
menjadi seorang mujtahid tidaklah mudah. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi.
Beberapa di antaranya, harus menguasai seluk beluk Al-Qur’an, termasuk di
dalamnya tentang ayat-ayat hukum, asbabun nuzul, nasikh - mansukh, mujmal –
mubayyan, al-‘am wa al-khash, dan sebagainya. Seorang mujtahid juga harus
menguasai seluk beluk Hadits, termasuk di dalamnya asbabul wurud, rijal al-hadits,
dan sebagainya. Juga harus menguasai persoalan-persoalan yang sudah menjadi
ijma’, memahami qiyas, menguasai ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu,
sharf, balaghah, dan sebagainya. Juga harus menguasai ilmu ushul
fiqh dan disiplin ilmu lainnya yang cukup banyak.[7]
Jika
persyaratan yang demikian itu belum kita miliki, maka sudah selayaknya kita
bermadzhab. Bahkan, ulama sekaliber Imam Bukhari, Imam Nawawi, Imam Al-Ghazali,
dan Imam Ibnu Hajar Al-Asqallani saja masih bermadzhab. Apabila dibandingkan
keadaan kita dengan para ulama besar tersebut, layakkah kita melepaskan diri
dari bermadzhab?
Kenyataan
bahwa para ulama besar saja bermadzhab menjadi jawaban telak atas ajakan
kelompok anti madzhab untuk meninggalkan pendapat para ulama dan merujuk
langsung kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam menetapkan suatu hukum. Bagaimana
mungkin kita akan meninggalkan pendapat ulama, sedangkan untuk menentukan
sebuah Hadits itu shahih atau dhaif saja kita harus merujuk
kepada para ulama Hadits. Kita meyakini ke-shahih-an Hadits-hadits yang
terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari tentu bukan karena hasil
penelitian kita, namun semata-mata kita bersandar kepada fatwa Imam Bukhari
atas status Hadits-hadits tersebut.
Dengan cara seperti itukah kita akan menolak pendapat para ulama, lalu mengajak
langsung kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits? Sungguh ajakan dan propaganda
yang terdengar manis namun menimbulkan banyak hal pahit di tengah kehidupan
umat Islam. Maka, jalan yang paling selamat adalah memilih bermadzhab dengan
salah satu dari empat madzhab yang ada. Wallaahu a’lam. (J. Rinaldi)
[1] Ahkamul
Fuqaha, hal. 2.
[2] Al
Qamus al Muhith, hal. 86.
[3]
Al Idza’ah al Muhimmah, hal. 18 dalam buku Fiqh Tradisionalis
karya KH. Muhyiddin Abdusshomad, hal. 53.
[4] Ahkamul
Fuqaha, hal. 3.
[5] Majmu’ah
Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 59.
[6] Majmu’ah
Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 59.
[7]
Lebih lengkap silakan baca Ushul al Fiqh, karya Abu Zahrah, hal.
380-389.
0 komentar:
Posting Komentar