Minggu, 22 Februari 2015

Cara Membuat Scroll Pada Widget Blog

Apakah Anda ingin memasang scroll pada widget, seperti yang saya pasang pada widget Ebook Gratis, Nonton Video dan Arsip Blog di blog ini? Kalau ya, silakan simak penjelasannya di bawah ini.

Scroll adalah bentuk minimalis dari sesuatu widget yang bisa kita tarik ke bawah dan ke atas. Penggunaan efek scroll pada widget ini bertujuan agar lebih rapi, tidak makan tempat banyak dan juga agar lebih terkesan minimalis. Membuat scroll pada widget tidaklah susah. Karena kita hanya menambahkan beberapa kode agar fungsi scroll  muncul. Di dalam dunia blog, ada 2 cara untuk membuat scroll pada widget, yaitu :

1. Widget tanpa kode HTML/Javascript.

Pertama kita harus tahu nama widget yang akan kita beri scroll. Caranya, masuk menu Tata Letak dan sentuhkan cursor di tulisan edit pada widget yang akan diberi scroll. Pada bagian bawah akan terlihat nama widget, lihat pada gambar di bawah ini nama widget-nya adalah PopularPosts1.



Cara Membuat Scroll di Widget Blog

Setelah kita mengetahui nama widgetnya, maka sobat masuk ke menu Template dan pilih Edit Html.
Lalu cari kode ]]></b:skin>, agar lebih mudah sobat gunakan tombol ctrl+F.
Masukan kode berikut tepat di atas kode ]]></b:skin>.
#PopularPosts1 .widget-content{
height:230px;
width:auto;
overflow:auto;
}

Nb : 1. Kode Berwarna merah adalah kode widget yang akan diberi scroll.
        2. Kode Berwarna biru adalah kode untuk tinggi widget scroll. 

Terakhir, Save dan lihat hasilnya.

2. Widget dengan kode HTML/Javascript.

Untuk membuat scroll pada widget dengan HTML/Javascript, Anda hanya perlu menambahkan sedikit kode berikut pada widget yang akan diberikan scroll.
<div style="overflow:auto; width:100%px; height:230px; padding:10px; border:1px solid #999999;">
"kode widget"</div>
Nb : 1. Tulisan yang berwarna merah adalah tempat untuk menaruh kode widget yang akan di scroll.
        2. Kode yang berwarna biru adalah lebar untuk widget scroll.

Demikian, semoga bermanfaat.

Orang yang Sudah Meninggal Dunia Mengetahui Ziarah Orang yang Hidup (Bagian 1)


Menurut Ibnu Abdil Barr, diriwayatkan dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda:

"Tidaklah ada di antara orang Muslim yang lewat di dekat kubur saudaranya, yang dikenalnya selagi di dunia, lalu dia mengucapkan salam kepadanya, melainkan Allah mengembalikan ruhnya kepadanya hingga dia membalas salamnya itu."

Ini merupakan nash yang menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia dan terbujur di dalam kuburnya, bisa mengetahuinya dan juga membalas salamnya.

Di dalam Ash Shahihain diriwayatkan dari Rasulullah Saw dari beberapa jalan, bahwa beliau memerintahkan untuk mengumpulkan para korban perang Badr (dari kalangan musyrikin Quraisy) dan melemparkannya ke dalam sebuah lubang bekas sumur. Kemudian beliau mendekat dan berdiri di dekat mereka sambil memanggil nama mereka satu persatu, "Hai Fulan bin Fulan, hai Fulan bin Fulan, apakah kalian mendapatkan apa yang dijanjikan Rabb kalian adalah benar? Sesungguhnya aku mendapatkan apa yang dijanjikan Rabb-ku kepadaku adalah benar."

Umar bin Khaththab ra bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin engkau berbicara dengan orang-orang yang sudah menjadi bangkai?"

Beliau menjawab, "Demi Yang mengutusku dengan kebenaran, mereka lebih mampu mendengar apa yang kukatakan daripada kalian, hanya saja mereka tidak mampu menjawab."

Diriwayatkan dari beliau, bahwa orang yang meninggal dunia dapat mendengar suara sandal orang-orang yang mengiringinya, saat mereka meninggalkan kuburnya.

Nabi Saw mensyariatkan kepada umatnya, agar mereka mengucapkan salam kepada ahli kubur, seperti salam yang mereka ucapkan kepada lawan bicara, dengan lafazh sebagai berikut: "Salam sejahtera atas kalian, tempat tinggal orang-orang Mukmin." Ucapan semacam ini layak disampaikan kepada orang yang dapat mendengar dan memikirkannya. Jika tidak, maka ucapan semacam ini hanya ditujukan kepada orang yang tidak ada di tempat atau benda mati.

Orang-orang salaf telah menyepakati hal ini dan banyak atsar yang diriwayatkan dari mereka, bahwa orang yang meninggal dunia dapat mengetahui ziarah orang yang masih hidup di atas kuburnya, dan dia merasa gembira karena kedatangannya itu.

Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Abud-Dunya mengatakan di dalam kitab Kitabul Qubur, tentang orang yang meninggal dunia dan mengetahui kedatangan orang yang masih hidup, dari Aisyah ra, ia berkata, "Rasulullah Saw bersabda:

"Tidaklah seseorang menziarahi kubur saudaranya dan duduk di sisinya, melainkan ia mendengarnya dan menjawab pertanyaannya, hingga dia bangkit."

Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, "Apabila seseorang melewati kubura saudara yang dikenalnya lalu dia mengucapkan salam kepadanya, maka dia menjawab salamnya dan mengenalinya. Jika dia melewati kuburan orang yang tidak dikenalnya, lalu mengucapkan salam, maka dia hanya membalas salamnya."
Dari seseorang dari kerabat Ashim al Jahdari, dia berkata, "Aku bermimpi bertemu dengan al Jahdari, enam hari setelah ia meninggal dunia. Dalam mimpi itu aku bertanya kepadanya,"Bukankah engkau sudah meninggal dunia?"
"Benar," jawabanya.
"Di mana engkau berada saat ini?" aku bertanya.
Dia menjawab, "Demi Allah, aku berada di sebuah taman dari taman-taman surga. Aku bersama beberapa rekanku berkumpul pada setiap malam Jumat dan pagi harinya, lalu kami sama-sama menghadap Abu Bakat bin Abdullah al Mazny, untuk mencari kabar tentang kalian."
Aku bertanya lagi, "Apakah itu jasad kalian atau ruh kalian?"
"Sama sekali tidak. Jasad telah usang. Hanya ruh-ruh yang saling bertemu," jawabnya.
"Apakah kalian mengetahui kedatangan kami yang menziarahi kalian?" tanyaku.
"Ya, kami mengetahuinya pada Jumat petang dan pada hari Sabtu hingga terbit matahari," jawabnya.
Aku bertanya lagi, "Mengapa yang demikian itu tidak berlaku untuk semua hari?"
Dia menjawab, "Mengingat kelebihan hari Jumat dan keagungannya."

Dari al Qashab, dia berkata, "Setiap Sabtu pagi aku pergi bersama Muhammad bin Wasi' ke kuburan. Kami mengucapkan salam kepada orang-orang yang dikubur di sana dan juga mendoakan mereka. Setelah itu kami kembali. Suatu hari kukatakan kepada Muhammad bin Wasi', "Bagaimana jika jadwal ziarah kita ubah menjadi hari Senin?"
Dia menjawab, "Aku pernah mendengar riwayat bahwa orang-orang yang meninggal dunia dapat mengetahui para peziarahnya pada hari Jumat dan sehari sebelum serta sesudahnya."

Dari Sufyan ats Tsauri, dia berkata, "Aku pernah mendengar dari Adh Dhahhak, bahwa dia berkata, "Siapa yang menziarahi suatu kuburan pada hari Sabtu sebelum matahari terbit, maka mayit penghuni kubur itu mengetahui ziarahnya."
Ada seseorang bertanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?"
Dia menjawab, "Karena keistimewaan hari Jumat."

Dari Abut Tayyah, dia berkata, "Mutharrif pergi pada pagi-pagi buta, yang saat itu adalah hari Jumat, sambil membawa cemetinya, yang pada suatu malam ujung cemeti itu mengeluarkan sinar. Dia tiba di areal kuburan sambil tetap menunggang kudanya. Dia melihat orang-orang yang di kubur duduk di atas kuburannya masing-masing. Mereka berkata, "Inilah Mutharrif yang datang pada hari Jumat."
Mutharrif berkata, "Aku bertanya kepada mereka, 'Apakah kalian semua juga mengenal hari Jumat?'"
Mereka menjawab, "Ya, kami juga mendengar apa yang dikatakan burung pada hari itu."
"Apa yang mereka katakan?" tanyanya.
Mereka menjawab, "Mereka berakata, 'Salam, salam'." (Bersambung ke bagian 2)
 

Jumat, 20 Februari 2015

Muqaddimah


 
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
قاَلَ الشَّيْخُ اْلإِمَامُ، الْعَالِمُ الْعَلاَّمَةُ، حُجَّةُ اْلاِسْلاَمِ، وَبَرَكَةُ اْلأَنَامِ: أَبُوْ حَامِدٍ مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍِ بْنِ مُحَمَّدٍِ الْغَزَالِيُّ الطُّوْسِىُّ؛ قَدَّسَ اللهُ رُوْحَهُ، وَنَوَّرَ ضَرِيْحَهُ - آمِيْن: الْحَمْدُ لِلَّهِ حَقَّ حَمْدِهِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ، مُحَمَّدٍِ رَسُوْلِهِ وَعَبْدِهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ مِنْ بَعْدِهِ
Berkata seorang Syekh yang agung, al-Alim al-Allamah, Hujjatul Islam, pembawa berkah bagi manusia, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi; semoga Allah menyucikan ruhnya dan menyinari alam kuburnya. Amin: Segala puji bagi Allah dengan sebenar-benar pujian. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada sebaik-baik makhluk, rasul dan utusan-Nya, Nabi besar Muhammad SAW, dan juga kepada keluarga dan para sahabatnya dan para pengikutnya yang hidup pada masa setelahnya.
أَمَّا بَعْدُ: فَاعْلَمْ أَيُّهَا الْحَرِيْصُ الْمُقْبِلُ عَلَى اقْتِبَاسِ الْعِلْمِ، الْمُظْهِرُ مِنْ نَفْسِهِ صِدْقَ الرَّغْبَةِ وَفَرْطَ التَّعَطُّشِ إِلَيْهِ، أَنَّكَ إِنْ كُنْتَ تَقْصُدُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ الْمُنَافَسَةَ وَالْمُبَاهَاةَ، وَالتَّقَدُّمَ عَلَى اْلأَقْرَانِ، وَاسْتِمَالَةَ وُجُوْهِ النَّاسِ إِلَيْكَ، وَجَمْعِ حُطَامِ الدُّنْيَا، فَأَنْتَ سَاعٍِ فِيْ هَدْمِ دِيْنِكَ، وَهَلاَكِ نَفْسِكَ، وَبَيْعِ آخِرَتِكَ بِدُنْيَاكَ، فَصَفْقَتُكَ خَاسِرَةٌ وَتِجَارَتُكَ بَائِرَةٌ، وَمُعَلِّمُكَ مُعِيْنٌ لَكَ عَلَى عِصْيَانِكَ، وَشَرِيْكٌ لَكَ فِيْ خُسْرَانِكَ، وَهُوَ كَبَائِعِ سَيْفٍ مِنْ قَاطِعِ طَرِيْقٍ، كَمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَعَانَ عَلَى مَعْصِيَةٍِ وَلَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍِ كَانَ شَرِْيكًَا لَهُ فِيْهَا
Ammaa ba’du: Ketahuilah, wahai orang yang besar semangat dan perhatiannya dalam mencari ilmu, yang telah menunjukan cita-cita yang tinggi dan rasa dahaga yang begitu kuat terhadap ilmu; seandainya niatmu dalam mencari ilmu itu hanyalah untuk belomba-lomba dan berbangga diri dengannya, lalu menjadi terkemuka dibanding orang lain, dan untuk menarik perhatian orang banyak terhadap dirimu, dan untuk menghimpunkan kekayaan dunia dengan ilmu itu, maka sesungguhnya engkau telah melangkah untuk menghancurkan agamamu, membinasakan dirimu sendiri, dan menjual akhiratmu demi memperoleh duniamu, maka penjualanmu adalah rugi dan perniagaanmu rusak, dan guru yang mengajarkan ilmu itu padamu seakan-akan telah menolongmu dalam melaksanakan kemaksiatan, bersamamu dalam kerugian, dan laksana seseorang yang menjual pedang kepada perampok. Seperti sabda Rasullullah SAW: “Barangsiapa yang menolong orang lain melakukan suatu kemaksiatan walaupun dengan setengah kalimat, maka orang itu dipandang telah ikut melakukan kemaksiatan tersebut.”[1]
وَإِنْ كَانَتْ نِيَّتُكَ وَقَصْدُكَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ اللهِ تَعَالَى مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ الْهِدَايَةَ، دُوْنَ مُجَرَّدِ الرِّوَايَةِ؛ فَأَبْشِرْ، فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَبْسُطُ لَكَ أَجْنِحَتَهَا إِذَا مَشَيْتَ، وَحِيْتَانُ الْبَحْرِ تَسْتَغْفِرُ لَكَ إِذَا سَعَيْتَ. وَلَكِنْ يَنْبَغِيْ لَكَ أَنْ تَعْلَمَ قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍِ، أَنَّ الْهِدَايَةَ الَّتِيْ هِيَ ثَمَرَةُ الْعِلْمِ، لَهَا بِدَايَةٌ وَنِهَايَةٌ، وَظَاهِرٌ وَبَاطِنٌ، وَلاَ وُصُوْلَ إِلَى نِهَايَتِهَا إِلاَّ بَعْدَ إِحْكَامِ بِدَايَتِهَا، وَلاَ عُثُوْرَ عَلَى بَاطِنِهَا إِلاَّ بَعْدَ الْوُقُوْفِ عَلَى ظَاهِرِهَا
Namun apabila niatmu dalam mencari ilmu itu demi menggapai keridhaan Allah dan mendapatkan hidayah, bukan sekedar agar engkau pandai berbicara (berceramah); maka hendaklah engkau merasa gembira, karena para malaikat telah mengembangkan sayapnya apabila kamu berjalan, dan ikan yang ada di lautan seluruhnya memohonkan ampun bagimu di dalam setiap gerakmu. Namun demikian, sebelum sampai kepada semua itu, hendaklah engkau mengetahui bahwa hidayah pada hakikatnya adalah buah dari ilmu. Hidayah itu sendiri baginya ada “bidayah” (pemulaan) dan ada pula “nihayah” (kesudahan/puncak), ada zahirnya dan ada batinnya, dan engkau sekali-kali tidak akan pernah sampai kepada puncak hidayah kecuali setelah engkau menapaki permulaannya, dan engkau tidak akan dapat menyelami yang bersifat batin darinya kecuali setelah engkau memahami dan menyempurnakan yang bersifat zahir darinya.
وَهَأَنَا مُشِيْرٌ عَلَيْكَ بِبِدَايَةِ الْهِدَايَةِ؛ لِتُجَرِّبَ بِهَا نَفْسَكَ، وَتَمْتَحِنَ بِهَا قَلْبَكَ، فَإِنْ صَادَفْتَ قَلْبَكَ إِلَيْهَا مَائِلاً، وَنَفْسَكَ بِهَا مُطَاوِعَةً، وَلَهَا قَابِلَةً؛ فَدُوْنَكَ التَّطَلُّعَ إِلَى النِّهَايَاتِ وَالتَّغَلْغُلَ فِيْ بِحَارِ الْعُلُوْمِ
Di dalam kitab ini aku akan tunjukkan padamu “bidayatul hidayah” (pemulaan-permulaan menuju hidayah); supaya engkau melatih dirimu dengan mengamalkannya, dan supaya engkau dapat menguji hatimu. Seandainya engkau dapati hatimu cenderung kepadanya dan hawa nafsumu tunduk mengikuti arahannya dan dapat memberikan perhatian yang sewajarnya, maka pada saatnya engkau akan sampai di  puncak hidayah dan engkau akan mampu mengarungi lautan ilmu yang luas itu.
وَإِنْ صَادَفْتَ قَلْبَكَ عِنْدَ مُوَاجَهَتِكَ إِيَّاهَا بِهَا مُسَوِّفًا، وَبِالْعَمَلِ بِمُقْتَضَاهَا مُمَاطِلاً؛ فَاعْلَمْ أَنَّ نَفْسَكَ الْمَائِلَةَ إِلَى طَلَبِ الْعِلْمِ هِيَ النَّفْسُ اْلأَمَّارَةُ بِالسُّوْءِ، وَقَدْ انْتَهَضَتْ مُطِيْعَةً لِلشَّيْطَانِ اللَّعِيْنِ لِيُدْلِيْكَ بِحَبْلِ غُرُوْرِهِ؛ فَيَسْتَدْرِجُكَ بِمَكِيْدَتِهِ إِلَى غَمْرَةِ الْهَلاَكِ، وَقَصْدُهُ أَنْ يُرَوِّجَ عَلَيْكَ الشَّرَّ فِيْ مَعْرِضِ الْخَيْرِ حَتَّى يُلْحِقَكَ: بِاْلأَخْسَرِيْنَ أَعْمَالاً، الَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَياةِ الدُنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
Tetapi jika engkau dapati hatimu tidak memberikan perhatian kepadanya dan nafsumu suka berlambat-lambat dalam melaksanakan perintahnya; maka ketahuilah bahwa kecenderunganmu dalam menuntut ilmu sebenarnya dikendalikan oleh nafsu ammarah bissuu’, hanya tunduk kepada perintah setan yang terkutuk yang hendak menipumu dengan berbagai macam tipudayanya; sehingga engkau akan terjerumus ke dalam jurang kebinasaan. Dengannya setan bermaksud menawarkan kepadamu keburukan dalam kemasan kebaikan, sehingga engkau termasuk dalam golongan yang disebutkan dalam firman Allah: “…orang yang paling rugi perbuatannya, (yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.”[2]
وَعِنْدَ ذَلِكَ يَتْلُوْ عَلَيْكَ الشَّيْطَانُ فَضْلَ الْعِلْمِ وَدَرَجَة الْعُلَمَاءِ، وَمَا وَرَدَ فِيْهِ مِنَ اْلأَخْبَارِ وَاْلآثَارِ وَيُلْهِيْكَ عَنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنِ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا، وَعَنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ
Pada waktu itu, setan akan selalu membisikkan kepadamu tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan derajat para ulama. Ia juga menyuarakan kepadamu berbagai keterangan yang ada di dalam hadits maupun atsar perihal keutamaan ilmu dan kemuliaan para ulama itu. Sedangkan pada saat yang sama setan mengalihkan perhatianmu dari sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya, namun tidak bertambah hidayahnya (amalnya), maka ia hanya bertambah jauh dari Allah.”[3] Juga dari sabda Rasulullah SAW: “Manusia yang paling pedih siksanya di hari Kiamat adalah orang alim yang tidak bermanfaat ilmunya.”[4]
وَكَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ إِنِّىْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ، وَقَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ، وَعَمَلٍ لاَ يُرْفَعُ، وَدُعَاءٍ لاَ يَسْمَعُ
Padahal Rasulullah SAW selalu berdoa: [Allaahumma innii a-‘uudzubika min ‘ilmin laa yanfa’, wa qalbin laa yakhsya’, wa ‘amalin laa yurfa’, wa du’aa-in laa yasma’] –Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermafaat, hati yang tidak kusyu’, amal yang tidak diangkat (tidak diterima), dan dari doa yang tidak didengar (tidak dimakbulkan).”[5]
وَعَنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِىَ بِيْ بِأَقْوَامٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيْضَ مِنْ نَارٍ، فَقُلْتُ: مَنْ أَنْتُمْ؟ قَالُوْا: كُنَّا نَأْمُرُ بِالْخَيْرِ وَلاَ نَأْتِيْهِ وَنَنْهَى عَنِ الشَّرِّ وَنَأْتِيْهِ
Setan juga memalingkanmu dari sabda Rasullullah SAW: “Pada malam isra’ mi’raj diperlihatkan padaku kaum yang dipotong lidah mereka dengan gunting yang terbuat dari api. Maka aku bertanya: “Siapakah kamu ini?” Mereka menjawab: “Kami adalah orang yang suka menyuruh orang lain berbuat kebaikan tetapi kami tidak melakukannya, dan kami suka melarang orang lain meninggalkan kejahatan tetapi kami mengerjakannya.”[6]
فَإِيَّاكَ يَا مِسْكِيْنُ أَنْ تُذْعِنَ لِتَزْوِيْرِهِ فَيُدْلِيْكَ بِحَبْلِ غُرُوْرِهِ، فَوَيْلٌ لِلْجَاهِلِ حَيْثُ لَمْ يَتَعَلَّمْ مَرَّةً وَاحِدَةً، وَوَيْلٌ لِلْعَالِمِ حَيْثُ لَمْ يَعْمَلْ بِمَا عَلِمَ أَلْفَ مَرَّةٍ
Maka berhati-hatilah engkau wahai saudaraku dari tipu daya setan dan janganlah engkau tunduk kepada tipu dayanya itu, karena ia akan membelenggumu dengan tali tipuannya. Celakalah orang bodoh yang tidak mau belajar, dan kecelakaan seribu kali lipat bagi orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya.
وَاعْلَمْ أَنَّ النَّاسَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ عَلَى ثَلاَثَةِ أَحْوَالٍ: رَجُلٌ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيَتَّخِذَهُ زَادَهُ إِلَى الْمَعَادِ، وَلَمْ يَقْصُدْ بِهِ إِلاَّ وَجْهَ اللهِ وَالدَّارَ اْلآخِرَةَ؛ فَهَذَا مِنَ الْفَائِزِيْنَ
Dan ketahuilah bahwa manusia dalam menuntut ilmu itu terbagi kepada tiga keadaan: Pertama, orang yang mencari ilmu untuk menjadikannya sebagai bekal menuju negeri akhirat, maka niatnya dalam mencari ilmu itu tiada lain kecuali untuk memperoleh keridhaan Allah dan kebahagiaan hidup di akhirat. Maka orang yang demikian ini termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung.
وَرَجُلٌ طَلَبَهُ لِيَسْتَعِيْنَ بِهِ عَلَى حَيَاتِهِ الْعَاجِلَةِ، وَيَنَالَ بِهِ الْعِزَّ وَالْجَاهَ وَالْمَالَ، وَهُوَ عَالِمٌ بِذَلِكَ مُسْتَشْعِرٌ فِيْ قَلْبِهِ رَكَاكَةَ حَالِهِ وَخِسَّةَ مَقْصَدِهِ، فَهَذَا مِنَ الْمُخَاطِرِيْنَ. فَإِنْ عَاجَلَهُ أَجَلُهُ قَبْلَ التَّوْبَةِ خِيْفَ عَلَيْهِ مِنْ سُوْءِ الْخَاتِمَةِ، وَبَقِيَ أَمْرُهُ فِيْ خَطِرِ الْمَشِيْئَةِ؛ وَإِنْ وَفَقَ لِلتَّوْبَةِ قَبْلَ حُلُوْلِ اْلأَجَلِ، وَأَضَافَ إِلَى الْعِلْمِ الْعَمَلَ، وَتَدَارَكَ مَا فَرَّطَ فِيْهِ مِنَ الْخَلَلِ - الْتَحَقَ بِالْفَائِزِيْنَ، فَإِنَّ: التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ
Kedua, orang yang mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan segera (duniawi), untuk meraih kemuliaan, kedudukan dan kekayaan. Sebenarnya di dalam hatinya dia mengetahui dan menyadari bahwa tujuan yang demikian itu adalah buruk dan hina. Orang ini termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berbahaya (mengkhawatirkan keadaannya). Apabila ajalnya menjemput sebelum dia bertaubat, maka dikhawatirkan dia akan mengalami su-ul khatimah, dan nasibnya di hari Kiamat berada dalam kehendak Allah. Namun jika dia mendapat kesempatan bertaubat sebelum ajal menghampirinya, bergegas untuk melakukan amal sesuai dengan ilmunya, menyempurnakan kekurangannya di masa lalu, maka ada kemungkinan dia digabungkan dengan orang-orang yang beruntung. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak mempunyai dosa.”[7]
وَرَجُلٌ ثَالِثٌ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ؛ فَاتَّخَذَ عِلْمَهُ ذَرْيعَةً إِلَى التَّكَاثُرِ بِالْمَالِ، وَالتَّفَاخُرِ بِالْجَاهِ، وَالتَّعَزُّزِ بِكَثْرَةِ اْلأَتْبَاعِ، يَدْخُلُ بِعِلْمِهِ كُلَّ مُدْخَلٍ رَجَاءَ أَنْ يَقْضِىَ مِنَ الدُّنْيَا وَطَرَهُ، وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ يُضْمِرُ فِيْ نَفْسِهِ أَنَّهُ عِنْدَ اللهِ بِمَكَانَةٍ، لاتِّسَامِهِ بِسِمَةِ الْعُلَمَاءِ، وَتَرَسُّمِهِ بِرُسُوْمِهِمْ فِي الزِّىِّ وَالْمَنْطِقِ، مَعَ تَكَالُبِهِ عَلَى الدُّنْيَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، فَهَذَا مِنَ الْهَالِكِيْنَ، وَمِنَ الْحَمْقَى الْمَغْرُوْرِيْنَ، إِذِ الرَّجَاءُ مُنْقَطِعٌ عَنْ تَوْبَتِهِ لِظَنِّهِ أَنَّهُ مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ، وَهُوَ غَافِلٌ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: يَأَيُهَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنََ مَالاَ تَفْعَلُوْنَ
Ketiga, orang yang telah dikuasai oleh setan; orang ini menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mengumpulkan harta, berbangga-bangga dengan kedudukan dan merasa hebat dengan banyaknya pengikut. Dia menggunakan ilmunya untuk meraih segala yang diharapkan dan dihajatkannya dari keuntungan dunia. Walaupun demikian, dia masih terpedaya lagi dengan menyangka bahwa dia mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah, karena tampilannya menyerupai tampilan para ulama, bergaya dengan gaya mereka, baik dalam perkataan maupun sikap formal. Padahal lahir batin dia adalah orang yang sangat rakus terhadap kekayaan dunia. Orang yang seperti ini termasuk dalam golongan orang yang binasa, bodoh dan tertipu. Sangat tipis harapan ia dapat bertaubat kepada Allah karena dia telah menyangka bahwa dirinya termasuk dalam golongan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dia lalai terhadap firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yangberiman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”[8]
وَهُوَ مِمَّنْ قَالَ فِيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَا مِنْ غَيْرِ الدَّجَّالِ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنَ الدَّجَّالِ، فَقِيْلَ: وَمَا هُوَ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: عُلَمَاءُ السُّوْءِ
Dan orang ini sesungguhnya temasuk dalam golongan yang disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: Selain daripada dajjal, ada satu pekara yang sangat aku takutkan untuk kalian fitnahnya daripada dajjal. Lalu ada sahabat yang bertanya: “Apakah itu wahai Rasulullah?” Nabi SAW menjawab: “Para ulama su’, yakni ulama yang jelek.”[9]
وَهَذَا لِأَنَّ الدَّجَّالَ غَايَتُهُ اْلإِضْلاَل، وَمِثْلُ هَذَا الْعَالِمُ وَإِنْ صَرَفَ النَّاسَ عَنِ الدُّنْيَا بِلِسَانِهِ وَمَقَالِهِ، فَهُوَ دَاعٍ لَهُمْ إِلَيْهَا بِأَعْمَالِهِ وَأَحْوَالِهِ، وَلِسَانُ الْحَالِ أفصح مِنْ لِسَانِ الْمَقَالِ، وَطِبَاعُ النَّاسِ إِلَى الْمُسَاهَمَةِ فِي اْلأَعْمَالِ أَمْيَلُ مِنْهَا إِلَى الْمُتَابَعَةِ فِي اْلأَقْوَالِ
Yang demikian itu karena dajjal tujuannya sudah sangat jelas, yakni menyesatkan manusia. Lain halnya dengan ulama jelek ini, mereka mengajak manusia berpaling dari dunia dengan lisan dan perkataan mereka, namun mereka mengajak manusia kepada dunia dengan amal dan perbutan mereka. Padahal bahasa perilaku lebih besar pengaruhnya daripada bahasa ucapan, dan tabiat manusia lebih cenderung mengikuti amal daripada mengikuti perkataan.
فَمَا أَفْسَدَهُ هَذَا الْمَغْرُوْرُ بِأَعْمَالِهِ أَكْثَرَ مِمَّا أَصْلَحَهُ بِأَقْوَالِهِ، إِذْ لاَ يَسْتَجْرِىءُ الْجَاهِلُ عَلَى الرَّغْبَةِ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ بِاسْتِجْرَاءِ الْعُلَمَاءِ، فَقَدْ صَارَ عِلْمُهُ سَبَبًا لِجُرْأَةِ عِبَادِ اللهِ عَلَى مَعَاصِيْهِ، وَنَفْسُهُ الْجَاهِلَةُ مُدِلَّةٌ مَعَ ذَلِكَ تُمَنِّيْهِ وَتُرَجِّيْهِ، وَتَدْعُوْهُ إِلَى أَنْ يَمُنَّ عَلَى اللهِ بِعِلْمِهِ، وَتُخَيِّلَ إِلَيْهِ نَفْسُهُ أَنَّهُ خَيُْرٌ مِنْ كَثِيْرٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ
Akibatnya, kerusakan yang timbul sebagai dampak amal mereka lebih banyak daripada kebaikan yang ditimbulkan oleh perkataan mereka. Orang yang tidak berilmu (baca: masyarakat awam) tidak akan berani mencintai dunia kecuali setelah melihat keberanian ulama jelek mencintai dunia. Maka ilmu yang mereka miliki itu menjadi sebab beraninya manusia bermaksiat kepada Allah. Lebih daripada itu, nafsu mereka yang bodoh menghadirkan angan-angan tentang posisi mereka yang tinggi di sisi Allah, mendorong mereka merasa telah berbuat banyak untuk Allah dengan ilmu mereka, dan nafsu mereka menghadirkan hayalan dalam diri mereka bahwa mereka lebih baik dari kebanyakan manusia.
فَكُنْ أَيُّهَا الطَّالِبُ مِنَ الْفَرِيْقِ اْلأَوَّلِ، وَاحْذَرْ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْفَرِيْقِ الثَّانِيْ، فَكَمْ مِنْ مُسَوِّفٍ عَاجَلَهُ اْلأَجَلُ قَبْلَ التَّوْبَةِ فَخَسِرَ، وَإِيَّاكَ ثُمَّ إِيَّاكَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْفَرِيْقِ الثَّالِثِ، فَتَهْلِكَ هَلاَكًا لاَ يُرْجَى مَعَهُ فَلاَحُكَ، وَلاَ يُنْتَظَرُ صَلاَحُكَ
Oleh karena itu wahai para penuntut ilmu, jadikanlah dirimu bersama dengan golongan yang pertama, dan berhati-hatilah agar engkau tidak termasuk ke dalam golongan yang kedua. Janganlah engkau menunda-nunda taubat, berapa banyak orang yang menunda-nunda taubat kemudian ajal menjemput, padahal ia belum sempat bertaubat, lalu ia menjadi orang yang merugi. Dan jangan sekali-kali engkau termasuk dalam golongan yang ketiga. Jika sampai engkau termasuk di dalamnya maka engkau akan terjerumus ke jurang kebinasaan yang tidak dapat  diharapkan keberuntungannya dan tidak dapat ditunggu lagi kebaikannya.
فَإِنْ قُلْتَ: فَمَا بِدَايَةُ الْهِدَايَةِ لِأُجَرِّبَ بِهَا نَفْسِيْ؟ فَاعْلَمْ، أَنَّ بِدَايَتَهَا ظَاهِرَةُ التَّقْوَى، وَنِهَايَتَهَا بَاطِنَةُ التَّقْوَى؛ فَلاَ عَاقِبَةَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى، وَلاَ هِدَايَةَ إِلاَّ لِلْمُتَّقِيْنَ
Maka apabila engkau bertanya: Apakah permulaan jalan menuju hidayah itu agar aku dapat menguji diriku dengannya? Ketahuilah, bahwa permulaan jalan menuju hidayah itu ialah ketakwaan yang bersifat zahir, sedangkan puncaknya adalah ketakwaan yang bersifat batin. Sungguh tidak ada keberuntungan hakiki yang akan dicapai kecuali dengan ketakwaan, sebagaimana halnya tidak ada hidayah kecuali untuk orang-orang yang bertakwa.
وَالتَّقْوَى: عِبَارَةٌ عَنِ امْتِثَالِ أَوَامِرِ اللهِ تَعَالَى، وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ، فَهُمَا قِسْمَانِ وَهَا أَنَا أُشِيْرُ عَلَيْكَ بِجُمَلة مُخْتَصَرَةٍ مِنْ ظَاهِرِ عِلْمِ التَّقْوَى فِي الْقِسْمَيْنِ جَمِيْعًا، وَأُلْحِقُ قِسْمَا ثَالِثًا لِيَصِيْرَ هَذَا الْكِتَابُ جَامِعًا مُغْنِيًا وَاللهُ الْمُسْتَعَانِ
Dan ketakwaan meliputi dua hal: melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhkan diri dari segala hal yang dilarang-Nya. Aku akan jelaskan kepadamu dua bagian takwa zahir tersebut dengan penjelasan yang ringkas, dan aku aku tambahkan bagian ketika yang berhubungan dengan amal hati agar kitab ini menjadi lebih lengkap dan menyeluruh. Semoga Allah memberi pertolongan.


[1] Ada hadits yang agak mirip dengan hadits tersebut:
مَنْ أَعَانَ عَلَى قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ مَكْتُوْبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ آيِسٌ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ
“Barangsiapa menolong untuk membunuh seorang mukmin meski dengan setengah kalimat, maka dia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan tertulis di antara kedua matanya: putus asa dari rahmat Allah.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra)
[2] QS. al-Kahfi [18]: 103-104.
[3] HR Dailami dari Ali bin Abu Thalib ra.
[4] HR Thabrani dan Baihaqi dari Abu Hurairah ra
[5] HR Ahmad dari Anas ra, dan al-Hakim dari Ibnu Mas’ud ra.
[6] HR Ahmad dari Anas ra.
[7] HR Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abdullah bin Mas’ud ra.
[8] QS. ash-Shaf [61]: 2.
[9] HR Ahmad dari Abu Dzar ra.

Rabu, 18 Februari 2015

Menolak Bid'ah Hasanah adalah Bid'ah


"Bid'ah" sesungguhnya bukan kosakata baru di tengah umat Islam. Sejak dahulu bid'ah selalu diperbincangkan dan selalu menjadi tema menarik untuk ditulis. Pada masa lalu, ketika para ulama menulis tema tentang bid'ah, seluruh aspek darinya diperbincangkan. Mereka menjelaskan bahwa bid'ah tidaklah selalu bermakna negatif. Ada hal-hal baik yang bisa diambil dari bid'ah. Namun demikian, mereka pun tidak lupa menjelaskan bahwa ada pula bid'ah yang harus dicela, dijauhi, dan diharamkan untuk melakukannya, yakni bid'ah dhalalah atau bid'ah madzmumah.

Sayangnya, dewasa ini bermunculan ditengah umat Islam orang-orang yang selalu menghembuskan pemaknaan bid'ah sebagai sesuatu yang senantiasa bersifat dhalalah (sesat). Dalam pandangan mereka semua bid'ah adalah sesat. Segala hal baru dalam perkara agama ini yang tidak pernah dicontohkan sebelumnya oleh Rasulullah Saw adalah bid'ah dhalalah. Pelakunya divonis sebagai ahli bid'ah yang kelak akan disiksa di dalam neraka. Masih menurut mereka, bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) itu tidak ada.

Benarkah demikian? Kita akan buktikan di dalam  buku ini bahwa pemahaman yang seperti itu tidaklah benar. Buku ini akan menyuguhkan kepada Anda pembahasan tentang bid'ah lengkap dengan dalil-dalil shahih yang secara tegas memperlihatkan bahwa para sahabat telah melakukan berbagai macam inovasi dan kreasi dalam urusan agama ini. Bahkan hal itu telah terjadi pada saat Rasulullah Saw masih berada di tengah-tengah mereka (masih hidup). Tradisi semacam itu terus berlanjut pada generasi-generasi berikutnya dari kalangan salah al-shalih.

Dengan membaca buku ini, Anda akan menemukan alasan kuat untuk menolak pandangan yang mengatakan bahwa semua bid'ah adalah sesat. Dengan membaca buku ini pula, kaum yang anti terhadap bid'ah hasanah akan menemukan dalil-dalil yang tak terbantahkan bahwa bid'ah hasanah benar-benar keberadaannya diakui oleh syariat Islam.

Jika Anda berminat dengan buku ini silakan klik di sini atau bisa dengan mengirim orderan ke 085642411919. 

Doa Ketika Takut kepada Orang Lain

 

اَللَّهُمَّ إِنَّا نَجْعَلُكَ فِي نُحُوْرِهِمْ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شُرُوْرِهِمْ

ALLAAHUMMA INNAA NAJ'ALUKA FII NUHUURIHIM WA NA'UUDZU BIKA MIN SYURUURIHIM

"Ya Allah, sungguh kami telah menjadikan diri-Mu sebagai pelindung dalam memerangi mereka, dan kami memohon perlindungan kepada-Mu dari segala keburukan mereka."

Sumber: Imam Nawawi (2009: 433) Al Azkar; The Complete Book of Zikir, Arkanleema)  

Mengenal Allah


Pertanyaan: Kewajiban apa yang pertama kali bagi setiap orang?

Jawaban: Kewajiban pertama kali bagi setiap orang mukallaf adalah mengenal Allah, yang menciptakannya dari tidak ada menjadi ada. Ia diciptakan oleh-Nya semata-mata untuk beribadah. Mengenal pada mulanya memerlukan mengetahui yang disembah, yakni mengetahu Dzat, sifat dan perbuatan-Nya menurut cara yang terpuji.

Allah berfirman:

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Pertanyaan: Bagaimana cara mengenal Allah Swt?

Jawaban: Cara mengenal Allah itu ada dua, yaitu: Pertama, dengan cara mendengar dan mengutip, artinya mendengar apa yang telah diberitakan Allah Swt tentang nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang sempurna di dalam kitab-kitab suci-Nya dan melalui lisan-lisan para Rasul-Nya. 

Allah berfirman:

"Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunya Asmaul Husna, bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan bumi, dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. al Hasyr: 22-24) 

Di dalam hadits disebutkan:

"Sesungguhnya Allah memiliki 99 asma; barangsiapa yang menghafal semuanya akan dimasukkan ke dalam surga...(lalu disebutkan 99 asmaul husna)"

Kedua, dengan akal. Maksudnya memfungsikan akal pikiran untuk merenungkan tentang alam raya (makhluk) ini dan mengambil pelajaran dari semua kejadian, kemudian menjadikan semua itu sebagai dalil atau bukti Yang Maha Menciptakannya, yang tiada lain adalah Allah Swt, tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.

Allah Swt berfirman:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang telah Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi setelah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dari pengisaran angin dan awan yang telah dikendalikan antara langit dan bumi sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (QS. al Baqarah: 164) 

Tujuh Macam Air untuk Bersuci





Ada tujuh macam air yang boleh dipergunakan untuk bersuci, yakni:


1. Air hujan
2. Air laut
3. Air sungai
4. Air sumur
5. Air mata air (sumber)
6. Air es (salju)
7. Air embun

Tentang air hujan, Allah Swt berfirman:
"Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikanmu dengan hujan itu." (QS. al Anfal: 11)

Tentang air laut, sabda Nabi Saw:
هو الطهور ماؤه، الحل ميتته 
"Ia (laut itu) suci airnya, halal bangkainya." (HR Al Bukhari, Turmudzi, Ibnu Hibban, dan Ibnu Sakan)

Tentang air sungai, air sumber, air es, dan air embun, berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah ra, ia berkata, "Rasulullah Saw ketika bertakbir dalam shalat diam sebentar sebelum membaca (Fatihah), saya bertanya, "Apa yang engkau baca, ya Rasulullah?" Beliau bersabda, "Aku membaca:

اللهم باعد بيني وبن خطاياي كما بعدت بين المشرك والمغرب ... اللهم اغسلني من خطاياي بماء الثلج والبرد
"Ya Allah, jauhkanlah aku dari kesalahan sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat... (hingga pada bacaan) ... Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahanku dengan air es dan embun." (HR Bukhari dan Muslim)

Tentang air sumur, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Sahl ra yang berkata, "Mereka (para sahabat) bertanya, "Ya Rasulullah, engkau berwudhu dengan air sumur budha'ah, padahal orang banyak, orang yang haid dan orang yang junub datang ke sana?" Nabi Saw bersabda:

الماء طهور ولاينجسه شيء
"Air itu suci, sesuatu tidaklah menajiskannya." (HR Turmudzi dan dikatakannya hasan, dishahihkan Imam Ahmad, dan lainnya)

Selasa, 17 Februari 2015

Pengertian Shalawat


Sebagai seorang Muslim tentunya Anda tidak asing dengan shalawat. Bahkan bisa dipastikan bahwa Anda pernah dan sering membaca shalawat, setidaknya tatkala menunaikan shalat yang di dalamnya kita mesti membaca shalawat setelah bacaan tasyahud. 


Namun tentunya tidak mudah bagi setiap Muslim untuk menjawab ketika ditanya apa sebenarnya yang dimaksud dengan shalawat. Kebanyakan dari kita hanya bisa mengatakan bahwa shalawat adalah sesuatu yang selalu dikaitkan dengan Rasulullah Muhammad SAW. Itulah sebabnya sebelum mengupas lebih jauh tentang shalawat, hal pertama yang perlu dijelaskan di sini adalah pengertian shalawat.

Secara bahasa, makna shalawat adalah doa, berkah, rahmat dari Allah, dan ibadah. Dalam bahasa Arab, ‘shalawat’ adalah bentuk jamak dari kata ‘shalat’. Jika shalawat dilakukan manusia, maka ia berarti permohonan; jika dilakukan oleh malaikat, maka maknanya adalah permohonan ampunan (maghfirah); dan jika yang melakukan shalawat adalah Allah, maka maknanya adalah curahan rahmat dari-Nya. 


Sedangkan secara istilah, shalawat adalah suatu amal yang berisi permohonan doa kepada Allah agar Dia mencurahkan keselamatan dan keberkahan untuk Nabi Muhammad SAW, dan orang yang bershalawat itu memperoleh pahala di sisi Allah Ta’ala. Sebagian ulama berpendapat bahwa shalawat Allah kepada hamba-Nya terbagi dua: shalawat yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. 

Shalawat yang bersifat umum ini dicurahkan oleh Allah kepada para hamba-Nya yang beriman, termasuk di dalamnya shalawat yang pernah dipanjatkan oleh Rasulullah SAW untuk sebagian sahabatnya. Sedangkan shalawat yang bersifat khusus adalah shalawat yang diperuntukkan bagi para nabi dan rasul, terutama untuk Nabi Muhammad SAW.


Dijelaskan pula bahwa shalawat yang disampaikan Allah untuk Nabi Muhammad SAW pada hakikatnya adalah pujian Allah untuk beliau dengan cara menampakkan keutamaan dan kemuliaannya serta mendekatkan beliau kepada-Nya. 


Sedangkan shalawat yang dipanjatkan oleh seorang Mukmin untuk Rasulullah SAW termasuk merupakan salah satu wujud pengakuannya akan kerasulan beliau dan permohonannya kepada Allah agar senantiasa mencurahkan anugerah kemuliaan dan keutamaan untuk beliau, dan pada hakikatnya semua itu juga demi kebaikan kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW.


Dengan demikian, seorang Muslim yang bershalawat kepada Nabi SAW sejatinya bukan hanya sekedar mengucapkan pujian dan sanjungan untuk beliau, namun juga sedang bermunajat kepada Allah Sang Penguasa semesta ini. (J. Rinaldi, dalam buku Dahsyatnya Shalawat Nabi)

Biografi Imam Syafi'i




Profil Singkat

 
Nama lengkap: Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi'i Al-Muttalibi Al-Qurashi
Nama gelar kehormatan: Alimul Ashr, Nashirul Hadits, Imam Quraish, Al-Imam Al-Mujaddid, Faqihul Millah



Tempat lahir: Gaza, Palestina.
Tanggal lahir: tahun 767 M / 150 H.
Wafat: Akhir malam Rajab tahun 820 M / 204 H.
Tempat wafat: Kairo, Mesir.
Aliran Islam: Ahlussunnah Wal Jamaah
Ayah: Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi' bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muttalib bin Abdu Manaf.
Ibu: Fatimah binti Abdullah Al-Uzdiyah.
Putra: Abu Utsman dan Abul Hasan
Putri: Fatimah dan Zainab




Nasab dari pihak ayah.
Ayahnya bernama Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi` bin Sa`ib bin Abid bin Abu Yazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf bin Qusayyi bin Kilab bin Murrah, nasab beliau bertemu dengan Rasulullah saw. pada Abdu Manaf bin Qusayyi.



Nasab dari pihak Ibu.
Ibnunya bernama Fatimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiyah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi`i.



Kelahiran Imam Syafi`i.
Dia dilahirkan pada tahun 150 H. bertepatan dengan dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Dia dilahirkan di desa Ghazzah, Asqalan. Ketika usianya mencapai dua tahun, ibunya mengajak pindah ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Lalu keduanya menetap di sana. Akan tetapi saat usianya telah mencapai sepuluh tahun, ibunua mengajak pindah ke Makkah lantaran khawatir akan melupakan nasabnya.



Jenjang Pendidikan Imam Syafi`i.
Imam Syafi`i sejak kecil hidup dalam kemiskinan, pada waktu dia diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak memperoleh upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran. Akan tetapi setiap kali seorang guru mengajarkan sesuatu pada murid-murid, terlihat Syafi`i kecil denga ketajaman akal pikiran yang dimilikinya mampu menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya, Syafi`i kecil mengajarkan kembali apa yang dia dengar dan dia pahami kepada anak-anak yang lain, sehingga dai apa yang dilakukan Syafi`i kecil ini mendapatkan upah. Sesudah usianya menginjak ke tujuh, Syafi`i telah berhasil menghafal al-Qur`an dengan baik.

 


Imam Syafi`i bercerita: “Saat kami menghatamkan al-Qur`an dan memasuki masjid, kami duduk di majlis para ulama. Kami berhasil menghafal beberapa hadits dan beberapa masalah Fiqih. Pada waktu itu, rumah kami berada di Makkah. Kondisi kehidupan kami sangat miskin, dimana kami tidak memiliki uang untuk membeli kertas, akan tetapi kami mengambil tulang-tulang sehingga dapat kami gunakan untuk menulis.”
Pada saat menginjak usia tiga belas tahun, dia juga memperdengarkan bacaan al-Qur`an kepada orang-orang yang berada di Masjid al-Haram, dia memiliki suara yang sangat merdu. Suatu ketika Imam Hakim menceritakan hadits yang berasal dari riwayat Bahr bin Nashr, bahwa dia berkata: “Jika kami ingin menangis, kami mengatakan kepada sesama teman “Pergilah kepada Syafi`i !” jika kami telah sampai dihadapannya, dia memulai membuka dan membaca al-Qur`an sehingga manusia yang ada di sekitarnya banyak yang berjatuhan di hadapannya lantaran kerasnya menangis. Kami terkagum-kagum dengan keindahan dan kemerduan suaranya, sedemikian tinggi dia memahami al-Qur`an sehingga sangat berkesan bagi para pendengarnya.


 
Guru-guru Imam Syafi`i.
1. Muslim bin Khalid al-Zanji, seorang Mufti Makkah pada tahun 180 H. yang bertepatan dengan tahun 796 M. dia adalah maula Bani Mkhzum.
2. Sufyan bin Uyainah al-Hilali yang berada di Makkah, dia adalah salah seorang yang terkenal kejujuran dan keadilannya.
3. Ibrahim bin Yahya, salah satu ulama di Madinah.
4. Malik bin Anas, Imam Syafi`i pernah membaca kitab al-Muwatha` kepada Imam Malik sesudah dia menghafalnya diluar kepala, kemudian dia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat pada tahun 179 H. bertepatan dengan tahun 795 M.
5. Waki` bin Jarrah bin Malih al-Kufi.
6. Hammad bin Usamah al-Hasyimi al-Kufi
7. Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Bashri.



Isteri Imam Syafi`i.
Dia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hamidah binti Nafi` bin Unaisah bin Amru bin Utsman bin Affan.



Keistimewaan Imam Syafi`i.
1. Keluasan ilmu pengetahuan dalam bidang sastera serta nasab, yang sejajar dengan al-Hakam bin Abdul Muthalib, dimana Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Keturunan (Bani) Hasyim dan keturunan (Bani) Muthalib
itu hakekatnya adalah satu.” (H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang Wasiat, bab “Qismah al-Khumus,”
hadits no. 2329.)

2. Kekuatan menghafal al-Qur`an dan kedalaman pemahaman antara yang wajib dan yang sunnah, serta kecerdasan terhadap semua disiplin ilmu yang dia miliki, yang tidak semua manusia dapat melakukannya.

3. Kedalaman ilmu tentang Sunnah, dia dapat membedakan antara Sunnah yang shahih dan yang dha`if. Serta ketinggian ilmunya dalam bidang ushul fiqih, mursal, maushul, serta perbedaan antara lafadl yang umum dan yang khusus.

4. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Para ahli hadits yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah tidak diperdebatkan sehingga kami bertemu dengan Imam Syafi`i. Dia adalah manusia yang paling memahami kitab Allah swt. dan Sunnah Rasulullah saw. serta sangat peduli terhadap hadits beliau.

5. Karabisy 2 berkata: Imam Syafi`i adalah rahmat bagi umat Nabi Muhammad saw. (Karabisy dinisbatkan pada profesi penjual pakaian, namanya adalah Husain bin Ali bin Yazid.)

6. Dubaisan (Namanya adalah Abu Dubais bin Ali al-Qashbani) berkata: Kami pernah bersama Ahmad bin Hambal di Masjid Jami` yang berada di kota Baghdad, yang dibangun oleh al-Manshur, lalu kami datang menemui Karabisy, lalu kami bertanya: Bagaimana menurutmu tentang Syafi`i ? kemudian dia menjawab: Sebagaimana apa yang kami katakan bahwa dia memulai dengan Kitab (al-Qur`an), Sunnah, serta ijma` para ulama`. Kami orang-orang terdahulu sebelum dia tidak mengetahui apa itu al-Qur`an dan Sunnah, sehingga kami mendengar dari Imam Syafii tentang apa itu al-Qur`an Sunnah dan ijma`. Humaidi berkata: Suatu ketika kami ingin mengadakan perdebatan dengan kelompok rasionalis kami tidak mengetahui bagaimana cara mengalahkannya. Kemudian Imam Syafi`i datang kepada kami, sehingga kami dapat memenangkan perdebatan itu. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Kami tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandapai dalam bidang fiqih (faqih) terhadap al-Qur`an daripada pemuda quraisy ini, dia adalah Muhammad bin Idris al-Syafi`i.

7. Ibnu Rahawaih pernah ditanya: Menurut pendapatmu, bagaimanakah Imam Syafii dapat menguasai al-Qur`an dalam usia yang masih relatif muda? lalu dia menjawab: Allah swt. mempercepat akal pikirannya lantaran usianya yang pendek.

8. Rabi` berkata: Kami pernah duduk bersama di Majelisnya Imam Syafi`i setelah beliau meninggal dunia di Basir, tiba-tiba datang kepada kami orang A`rabi (badui). Dia mengucapkan salam, lalu bertanya: Dimanakah bulan dan matahri majleis ini ? lalu kami mejawab: Dia telah wafat. Kemudian dia menangis lalu berkata: Semoga Allah swt. memncurahkan rahmat dan mengampuni semua dosanya. Sungguh beliau telah membuka hujjah yang selama ini tertutup, telah merubah wajah orang-orang yang ingkar dan juga telah membuka kedok mereka, dan juga telah membuka pintu kebodohan disertai penjelasannya, lalu tidak beberapa lama orang badui itu pergi.


 
Sikap Rendah Hati yang dimiliki Imam Syafi`i.
Hasan bin Abdul Aziz al-Jarwi al-Mishri mengatakan, bahwa Imam Syafii pernah berkata: Kami tidak menginginkan kesalahan terjadi pada seseorang, kami sangat ingin agar ilmu yang kami miliki itu ada pada setiap orang dan tidak disandarkan pada kami. Imam Syafi`i berkata: Demi Allah kami tidak menyaksikan seseorang lalu kami menginginkan kesalahan padanya. Tidaklah bertemu dengan seseorang melainkan kami berdo`a “Ya Allah, jadikanlah kebenaran ada pada hati dan lisannya ! jika kebenaran berpihak kepada kami, semoga dia mengikuti kami, dan jika kebenaran berpihak kepadanya semoga kami mampu mengikutinya. Imam Syafii adalah Pakar Ilmu Pengetahuan dari Quraisy. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Jika kami ditanya tentang satu masalah dan kami tidak mengetahuinya, maka kami menjawab dengan menukil perkataan Syafi`i, lantaran dia seorang imam besar yang ahli dalam ilmu pengetahuan yang berasal dari kaum Quraisy. Dalam suatu hadits diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda: “Orang alim dari Quraisy ilmunya akan memenuhi bumi.” (Manaqib karya Imam Baihaqi, juz 1, hlm. 45.)



 
Ar-Razi berkata: Kriteria orang orang yang disebutkan di atas ini akan terpenuhi apabila seseorang memiliki kriteria sebagai berikut : Pertama; berasal dari suku Quraisy. Kedua; memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas dari kalangan ulama. Ketiga; memiliki ilmu pengetahuan yang luas, dan dikenal oleh penduduk Timur dan Barat. Benar kriteria di atas hanya terdapat pada diri Imam Syafi`i, dia adalah seorang ahli ilmu pengetahuan yang berasal dari suku Quraisy.
 


Berikut beberapa hadits yang berkaitan dengan hal di atas.
1. Riwayat dari Ibnu Mas`ud bahwa dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kalian mencaci maki suku Quraisy, karena sesungguhnya ahli ilmu di antara mereka akan memenuhi dunia. Ya Allah ya Tuhan kami, Engkau telah menimpakan azab yang terdahulu dari mereka, maka anugerahkan nikmat-Mu yang terakhir dari mereka.” (5 . H.R. Abu Daud Thabalasi dalam kitab Musnad-nya, hlm. 39-40.)

2. Riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda : Ya Allah tunjukkanlah orang-orang Quraisy, karena”
sesungguhnya orang alim di antara mereka akan memenuhi dunia. Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberikan azab kepada mereka, maka berikanlah (Khatib, dalam Tarikh, juz 2, hlm. 61.) juga Ni`mat-Mu atas mereka.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali

3. Dia adalah orang Quraisy dari Bani al-Muthalibi, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Muthalib adalah adalah satu.” Lalu Rasulullah saw. merapatkan jari tangannya. (H.R. Sunan Kubra, juz 6, hlm. 340.)
Selanjutnya Rasulullah saw. kembali bersabda : “Sesungguhnya Allah swt. mengutus untuk umat ini pada setiap setiap
seratus tahun seseorang yang memperbaharui agama-Nya.” (8 . Al-Mustadrak, juz 4, hlm. 522, dan Khatib dalam Tarikh, juz 2, hlm. 61.)


 

Anak-anak Imam Syafi`i.
1. Abu Usman Muhammad, dia seorang hakim di kota Halib, Syam (Syiria).
2. Fatimah.
3. Zainab.


 
Imam Syafi`i ke Mesir.
Imam Syafi`i datang ke Mesir pada tahun 199 H. atau 814/815 M. pada masa awal khalifah al-Ma`mun, lalu dia kembali ke Baghdad dan bermukim di sana selama satu bulan, kemudian dia kembali lagi ke Mesir. Dia tinggal di sana sampai akhir hayatnya pada tahun 204 H. atau 819/820 M.


 
Kitab-kitab Karya Imam Syafi`i.
1. Al-Risalah al-Qadimah (kitab al-Hujjah)
2. Al-Risalah al-Jadidah.
3. Ikhtilaf al-Hadits.
4. Ibthal al-Istihsan.
5. Ahkam al-Qur`an.
6. Bayadh al-Fardh.
7. Sifat al-Amr wa al-Nahyi.
8. Ikhtilaf al-Malik wa al-Syafi`i.
9. Ikhtilaf al- Iraqiyin.
10. Ikhtilaf Muhammad bin Husain.
11. Fadha`il al-Quraisy
12. Kitab al-Umm
13. Kitab al-Sunan


 
Wafatnya Imam Syafi`i.
Beliau menderita penyakit ambeien pada akhir hidupnya, sehingga mengakibatkan beliau wafat di Mesir pada malam Jum`at sesudah shalat Maghrib, yaitu pada hari terakhir di bulan Rajab. Beliau di makamkan pada Hari Jum`at pada tahun 204 H. bertepatan tahun 819/820 M. makamnya berada di kota Kairo, di dekat masjid Yazar, yang berada dalam lingkungan perumahan yang bernama Imam Syafi`i.


Sumber: http://www.alkhoirot.net/

Adab Bertetangga


Islam memerintahkan umatnya untuk bertetangga secara baik. Bahkan, saking seringnya Jibril mewasiatkan agar bertetangga dengan baik, Rasulullah pernah mengira tetangga termasuk ahli waris. Kata Rasulullah, seperti diriwayatkan oleh Aisyah, ''Jibril selalu mewasiatkan kepadaku tentang tetangga sampai aku menyangka bahwa ia akan mewarisinya.'' (HR Bukhari-Muslim).

Namun, ternyata waris atau warisan yang dimaksud Jibril adalah agar umat Islam selalu menjaga hubungan baik dengan sesama tetangga. Bertetangga dengan baik itu, termasuk menyebarkan salam ketika bertemu, menyapa, menanyakan kabarnya, menebar senyum, dan mengirimkan hadiah. Sabda Rasulullah SAW, ''Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak sayur maka perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada tetanggamu.'' (HR Muslim).

Lihatlah, betapa ringan ajaran Rasulullah, namun dampaknya sangat luar biasa bagi kerukunan dan keharmonisan kita dalam bermasyarakat. Untuk memberi hadiah tidak harus berupa bingkisan mahal, tapi cukup memberi sayur yang sehari-hari kita masak.

Untuk menjaga hubungan baik dengan tetangga, Rasulullah juga memerintahkan untuk saling menenggang perasaan masing-masing. ''Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir,'' kata Rasulullah, ''maka hendaknya ia tidak menyakiti tetangganya.'' (HR Bukhari).

Suatu kali, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang seorang wanita yang dikenal rajin melaksanakan shalat, puasa, dan zakat, tapi ia juga sering menyakiti tetangganya dengan lisannya. Rasulullah menegaskan, ''Pantasnya dia di dalam api neraka!''

Kemudian, sahabat itu bertanya lagi mengenai seorang wanita lain yang dikenal sedikit melaksanakan shalat dan puasa, namun sering berinfak dan tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya. Jawab Rasulullah, ''Ia pantas masuk surga!'' (HR Ahmad).

Seorang wanita bersusah payah melaksanakan shalat wajib, bangun malam, menahan haus dan lapar, serta mengorbankan harta untuk berinfak, namun menjadi mubazir lantaran buruk dalam bertutur sapa dengan tetangganya. Rasulullah bersumpah terhadap orang yang berperilaku demikian, tiga kali, dengan sumpahnya, ''Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman
...!''

Sahabat bertanya, ''Siapa, ya Rasulullah?'' Beliau menjawab, ''Orang yang tetangganya tidak pernah merasa aman dari keburukan perilakunya.'' (HR Bukhari).

Suatu kali, Aisyah pernah bingung mengenai siapa di antara tentangganya yang harus diutamakan. Lalu, ia bertanya kepada Rasulullah, ''Ya Rasulullah, saya mempunyai dua orang tetangga, kepada siapakah aku harus memberikan hadiah?'' Beliau bersabda, ''Kepada yang paling dekat rumahnya.'' (HR Bukhari).

Rasulullah menjadikan akhlak kepada tetangga sebagai acuan penilaian kebaikan seseorang. Kata beliau, ''Sebaik-baik kawan di sisi Allah adalah yang paling baik (budi pekertinya) terhadap kawannya, sebaik-baik tetangga adalah yang paling baik kepada tetangganya.'' (HR Tirmidzi).

Menjelang Kelahiran


Muhammad adalah keturunan Nabi Ismail -nabi dengan 12 putra yang menjadi cikal bakal bangsa Arab. Para nenek moyang Muhammad adalah penjaga Baitullah sekaligus pemimpin masyarakat di Mekah, tempat yang menjadi tujuan bangsa Arab dari berbagai penjuru untuk berziarah setahun sekali. Tradisi ziarah yang sekarang, di masa Islam, menjadi ibadah haji. Salah seorang yang menonjol adalah Qusay yang hidup sekitar abad kelima Masehi.

Tugas Qusay sebagai penjaga ka'bah adalah memegang kunci ('hijabah'), mengangkat panglima perang dengan memberikan bendera simbol yang dipegangnya ('liwa'), menerima tamu ('wifadah') serta menyediakan minum bagi para peziarah ('siqayah').

Ketika lanjut usia, Qusay menyerahkan mandat terhormat itu pada pada anak tertuanya, Abdud-Dar. Namun anak keduanya, Abdul Manaf, lebih disegani warga. Anak Abdul Manaf adalah Muthalib, serta si kembar siam Hasyim dan Abdu Syam yang harus dipisah dengan pisau. Darah tumpah saat pemisahan mereka, diyakini orang Arab sebagai pertanda keturunan mereka bakal berseteru.

Anak-anak Abdul Manaf mencoba merebut hak menjaga Baitullah dari anak-anak Abdud-Dar yang kurang berwibawa di masyarakat. Pertikaian senjata nyaris terjadi. Kompromi disepakati. Separuh hak, yakni menerima tamu dan menyediakan minum, diberikan pada anak-anak Abdul Manaf. Hasyim yang dipercaya memegang amanat tersebut.

Anak Abdu Syam, Umayah, mencoba merebut mandat itu. Hakim memutuskan bahwa hak tersebut tetap pada Hasyim. Umayah, sesuai perjanjian, dipaksa meninggalkan Makkah. Keturunan Umayah -seperti Abu Sofyan maupun Muawiyah- kelak memang bermusuhan dengan keturunan Hasyim.

Hasyim lalu menikahi Salma binti Amr dari Bani Khazraj -perempuan sangat terhormat di Yatsrib atau Madinah. Mereka berputra Syaibah (yang berarti uban) yang di masa tuanya dikenal sebagai Abdul Muthalib -kakek Muhammad. Inilah ikatan kuat Muhammad dengan Madinah, kota yang dipilihnya sebagai tempat hijrah saat dimusuhi warga Mekah. Syaibah tinggal di Madinah sampai Muthalib -yang menggantikan Hasyim karena wafat-menjemputnya untuk dibawa ke Mekah. Warga Mekah sempat menyangka Syaibah sebagai budak Muthalib, maka ia dipanggil dengan sebutan Abdul Muthalib.

Abdul Muthalib mewarisi kehormatan menjaga Baitullah dan memimpin masyarakatnya. Namanya semakin menjulang setelah ia dan anaknya, Harits, berhasil menggali dan menemukan kembali sumur Zamzam yang telah lama hilang. Namun ia juga sempat berbuat fatal: berjanji akan mengorbankan (menyembelih) seorang anaknya bila ia dikaruniai 10 anak. Begitu mempunyai 10 anak, maka ia hendak melaksanakan janjinya. Nama sepuluh anaknya dia undi ('kidah') di depan arca Hubal. Abdullah -ayah Muhammad-yang terpilih.

Masyarakat menentang rencana Abdul Muthalib. Mereka menyarankannya agar menghubungi perempuan ahli nujum. Ahli nujum tersebut mengatakan bahwa pengorbanan itu boleh diganti dengan unta asalkan nama unta dan Abdullah diundi. Mula-mula sepuluh unta yang dipertaruhkan. Namun tetap Abdullah yang terpilih oleh undian. Jumlah unta terus ditambah sepuluh demi sepuluh. Baru setelah seratus unta, untalah yang keluar dalam undian, meskipun itu diulang tiga kali. Abdullah selamat.

Peristiwa besar yang terjadi di masa Abdul Muthalib adalah rencana penghancuran Ka'bah. Seorang panglima perang Kerajaan Habsyi (kini Ethiopia) yang beragama Nasrani, Abrahah, mengangkat diri sebagai Gubernur Yaman setelah ia menghancurkan Kerajaan Yahudi di wilayah itu. Ia terganggu dengan reputasi Mekah yang menjadi tempat ziarah orang-orang Arab. Ia membangun Ka'bah baru dan megah di Yaman, serta akan menghancurkan Ka'bah di Mekah. Abrahah mengerahkan pasukan gajahnya untuk menyerbu Mekah.

Mendekati Mekah, Abrahah menugasi pembantunya -Hunata-untuk menemui Abdul Muthalib. Hunata dan Abdul Muthalib menemui Abrahah yang berjanji tak akan mengganggu warga bila mereka dibiarkan menghancurkan Baitullah. Abdul Muthalib pasrah. Menjelang penghancuran Ka'bah terjadilah petaka tersebut. Qur'an menyebut peristiwa yang menewaskan Abrahah dan pasukannya dalam Surat Al-Fil. "Dan Dia mengirimkan kepada mereka "Toiron Ababil", yang melempari mereka dengan batu-batu cadas yang terbakar, maka Dia jadikan mereka bagai daun dimakan ulat".

Pendapat umum menyebut "Toiron Ababil" sebagai "Burung Ababil" atau "Burung yang berbondong-bondong". Buku "Sejarah Hidup Muhammad" yang ditulis Muhammad Husain Haekal mengemukakannya sebagai wabah kuman cacar (mungkin maksudnya wabah Sampar atau Anthrax -penyakit serupa yang menewaskan sepertiga warga Eropa dan Timur Tengah di abad 14). Namun ada pula analisa yang menyebut pada tahun-tahun itu memang terjadi hujan meteor -hujan batu panas yang berjatuhan atau 'terbang' dari langit. Wallahua'lam. Yang pasti masa tersebut dikenal sebagai Tahun Gajah yang juga merupakan tahun kelahiran Muhammad.

Pada masa itu, Abdullah putra Abdul Muthalib telah menikahi Aminah. Ia kemudian pergi berbisnis ke Syria. Dalam perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan meninggal di Madinah. Muhammad lahir setelah ayahnya meninggal. Hari kelahirannya dipertentangkan orang. Namun, pendapat Ibn Ishaq dan kawan-kawan yang paling banyak diyakini masyarakat: yakni bahwa Muhammad dilahirkan pada 12 Rabiul Awal. Orientalis Caussin de Perceval dalam 'Essai sur L'Histoire des Arabes' yang dikutip Haekal menyebut masa kelahiran Muhammad adalah Agustus 570 Masehi. Ia dilahirkan di rumah kakeknya -tempat yang kini tak jauh dari Masjidil Haram.

Bayi itu dibawa Abdul Muthalib ke depan Ka'bah dan diberi nama Muhammad yang berarti "terpuji". Suatu nama yang tak lazim pada masa itu. Konon, Abdul Muthalib sempat hendak memberi nama bayi itu Qustam -serupa nama anaknya yang telah meninggal. Namun Aminah -berdasarkan ilham- mengusulkan nama Muhammad itu.