Minggu, 22 Maret 2015

Mengapa Shalawat Kita Haturkan kepada Nabi Saw?

Tentunya sebagai umat Islam kita bersepakat dan meyakini dengan penuh keimanan bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah manusia paling sempurna dan memiliki derajat kemuliaan tertinggi di sisi Allah SWT. Beliau adalah yang terpilih di antara manusia-manusia pilihan. Beliau adalah sosok terkasih di antara para kekasih Allah, yang jauh sebelum wujudnya hadir di alam dunia ini cahaya (nur)-nya telah terlebih dahulu diciptakan Allah. Bahkan keberadaan Nur Muhammad itu mendahului masa diciptakannya Nabi Adam AS, Sang Abul Basyar.



Ada pendapat yang mengatakan, syahdan mahar yang diberikan oleh Nabi Adam AS saat menikahi Bunda Hawa adalah bacaan shalawat yang beliau lantunkan sebanyak sepuluh kali. Luar biasa bukan? Padahal masa itu Nabi Adam AS sama sekali belum mengetahui seperti apa wujud manusia yang kepadanya shalawat itu beliau haturkan. Kemuliaan yang dianugerahkan Allah pada diri Nabi Muhammad SAW membuat namanya disebut-sebut dalam pernikahan suci yang berlangsung antara Nabi Adam AS dengan Bunda Hawa.


Bahkan ketika Nabi Adam AS berbuat kekhilafan, dalam pertaubatannya kepada Allah SWT beliau menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Beliau memohon ampun kepada Allah dengan menyebut nama makhluk pilihan yang paling dikasihi Allah, yakni Nabi Muhammad SAW. Telah sampai kepada kita riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menceritakan perihal itu.


Di dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, Juz 1 halaman 91, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi mengutip sebuah hadits yang bersumber dari Umar bin Khaththab ra, yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لمَاَ أَذْنَبَ آدَمُ صَلَّى اللهُ عليه وسلم الذَّنْبَ الَّذِي أَذْنَبَهُ رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى الْعَرْشِ ، فَقَالَ : أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ إِلاَّ غَفَرْتَ لِي، فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ ، « وَمَا مُحَمَّدٌ وَمَنْ مُحَمَّدٌ ؟ » فَقَالَ : تَبَارَكَ اسْمُكَ، لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى عَرْشِكَ، فَإِذًا فِيْهِ مَكْتُوْبٌ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ قَدْرًا ِممَّنْ جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسَمِكَ، فَأَوْحَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ : يَا آدَمُ، إِنَّهُ آخِرُ النَبِيِّيْنَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ، وَلَوْلاَهُوَ يَا آدَمُ مَا خَلَقْتُكَ

“Tatkala Nabi Adam AS berbuat kesalahan, beliau mengangkat kepalanya ke ‘Arsy dan memohon, “Ya Allah aku memohon kepada Engkau dengan kebenaran Muhammad SAW, maka tidak lain Engkau akan mengampuniku” Maka Allah SWT mewahyukan kepadanya, “Apa dan siapakah Muhammad SAW?” Baginda AS menjawab, “Ketika Engkau jadikan aku, maka aku melihat ke ‘Arsy-Mu dan terpandang tulisan “Laa ilaha illallah Muhammadur rasulullah”. Maka aku yakin bahwa tiada siapa pun yang lebih tinggi darinya di sisi-Mu yang namanya Engkau letakan bersama nama-Mu.” Lantas Allah mewahyukan kepada baginda AS, “Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi akhir zaman dari keturunanmu. Sekiranya dia tidak ada maka aku tidak akan menciptakanmu.” (HR Thabrani, al-Hakim, Abu Nu’aim, Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir)


Dalam riwayat Imam Baihaqi yang lain disebutkan dengan redaksi:

صَدَقْتَ يَا آدَمُ، إِنَّهُ لَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَيَّ، وَإِذْ سَأَلْتَنِيْ بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ، وَلَوْلاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ

“…Benar engkau ya Adam. Sungguh dia (Muhammad SAW) adalah makhluk yang paling aku cintai. Jika engkau meminta kepada-Ku dengan kebenarannya, maka sungguh Aku mengampunimu. Jika tidak karena Muhammad, maka Aku tidak akan menciptakanmu.[1]


Setelah menyimak informasi di atas tentu Anda lebih menyakini lagi betapa kedudukan Rasulullah SAW itu sangat tinggi dan mulia di sisi Allah. Sebagai kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW kemudian disifati oleh-Nya sebagai sosok manusia yang ma’shum, yakni manusia yang terpelihara dari dosa. Pastinya kita semua mengetahui bahwa tiada balasan apa pun yang akan dianugerahkan Allah kepada sosok yang terpelihara dari dosa selain Surga. 


Mungkin di dalam hati Anda muncul pertanyaan, “Kalau demikian, mengapa kita masih perlu bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW? Shalawat artinya doa. Bershalawat kepada Nabi SAW berarti mendoakan beliau. Mengapa kita mesti mendoakan beliau, sedangkan beliau telah mendapat jaminan Surga dari Allah SWT? Bukankah yang lebih layak untuk didoakan diri kita sendiri yang masih bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan ini?”


Ya, selintas memang pertanyaan dan pernyataan seperti itu terkesan benar. Seolah-olah dengan bershalawat yang ‘untung’ hanya Nabi SAW, sementara kepada kita tidak memberikan kebaikan apa-apa. Agar Anda bisa memahami mengapa shalawat itu kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, simaklah penjelasan kami di bawah ini. Semoga Allah meluaskan hati kita untuk menerima ilmu dari-Nya.


Begini. Shalawat itu pada hakikatnya adalah ekspresi cinta dari seorang Muslim kepada Nabi yang telah menunjukkan jalan kepada Allah SWT. Kalau Anda mencintai Nabi, maka shalawat adalah salah satu bukti cinta Anda kepada beliau. Seorang pria yang sedang jatuh cinta secara naluri akan selalu terkenang kepada wanita yang dicintainya itu. Ia akan membisikkan nama wanita itu lewat bibir dan hatinya. Ia akan berdoa kepada Tuhan agar wanita yang ia cintai itu selalu mendapatkan kebaikan demi kebaikan. Bila limpahan kebaikan tertuju kepada kekasihnya, maka ia akan merasa bahagia. Keuntungan yang ia peroleh saat mendoakan kekasihnya adalah hadirnya perasaan bahagia di dalam jiwanya, dan itu jauh lebih berharga daripada apa pun yang ada di dunia ini. 


Demikian pula dengan orang yang mencintai Rasulullah SAW. Ia akan selalu membisikkan nama Muhammad lewat lisan dan kalbunya. Bershalawat adalah cara yang paling disyariatkan dalam mengingat Nabi. Jika Anda mencintai Nabi, maka hati Anda akan bergetar kencang saat menyebut nama beliau. Getar-getar yang hadir saat menyenandungkan doa dan pujian kepada Sang Kekasih Rasulullah SAW memberikan kenikmatan tersendiri di dalam diri yang tak bisa dilukiskan melalui kalimat apa pun. Kenikmatan itulah yang mendorong orang-orang yang sangat besar cintanya kepada Nabi untuk selalu bershalawat kepadanya. Orang yang mencintai Nabi tidak akan merasa berat bershalawat kepadanya, karena shalawat adalah ekspresi cinta kepada Rasulullah SAW.


Lalu, di mana letak keuntungannya bagi diri kita? Upss…sabar dulu. Jangan sampai Anda berpikir bahwa tak ada untungnya bershalawat kepada Nabi. Ketahuilah, kalau Anda mencintai seseorang, ada kemungkinan besar suatu saat ia akan mengecewakan Anda. Tapi, jika Anda mencintai Nabi SAW, dunia – akhirat Anda tidak akan pernah kecewa. Kok bisa? Ya, memang seperti itu. Coba simak lagi tambahan keterangan berikut ini.


Ketika Anda melazimkan diri setiap hari bershalawat, maka tanpa sadar sebenarnya Anda sedang menghadirkan nama Rasulullah SAW di kehidupan Anda sehari-hari. Hal itu akan membuat hati Anda selalu terpaut kepada beliau, sehingga tidak ada waktu yang Anda lalui kecuali Anda terkenang kepadanya. Cinta itu tumbuh di dalam hati orang yang selalu mengenang kekasihnya. Semakin hari cinta Anda akan semakin besar kepada Baginda Nabi. Nabi Muhammad SAW atas izin Allah akan mengetahui betapa besar cinta Anda kepadanya. Karena sebagaimana sejumlah hadits yang telah disebutkan sebelumnya, setiap shalawat yang Anda baca akan disampaikan kepada beliau. 


Dan kalau Nabi SAW yang kita cintai itu mengetahui cinta kita terhadapnya, maka akan semakin besar peluang bagi kita memperoleh balasan cinta dari beliau. Balasan cinta dari Sang Nabi akan membukakan kepada kita pintu untuk memperoleh syafaat dari beliau. Ketika syafaat Nabi tercurah kepada kita, maka semakin besar kesediaan Allah Ta’ala untuk mencintai kita. Mengapa? Karena Allah akan mencintai orang yang mencintai hamba yang paling dikasihi-Nya. Sekarang pastinya Anda sudah tahu apa anugerah Allah kepada orang-orang yang dicintai-Nya, yakni Surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Bukankah itu sebuah keberuntungan yang sangat besar? Lalu, mengapa masih merasa berat untuk bershalawat. Bangkitlah dan tinggalkan kemalasan itu. Sampaikan shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW. Semoga Allah mencintai kita karena shalawat itu.


Untuk lebih mempertegas betapa besar keberuntungan yang akan diperoleh orang-orang yang banyak bershalawat kepada Nabi SAW, mari kita simak uraian Quraish Shihab berikut ini.


Kata beliau, “Sebuah kesimpulan yang tak mungkin bisa untuk dibantah adalah bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia pendidik dan perantara utama bagi pengetahuan dan keimanan orang-orang yang beriman. Beliau manusia yang paling besar jasanya dibanding dengan yang lain, termasuk orangtua, guru, kiai, dan lain-lain. Memang tak bisa dipungkiri bahwa jasa mereka sangat besar dalam menuntun kita secara spiritual. Namun satu hal yang pasti, apa yang mereka ajarkan itu tidak dapat mereka lakukan tanpa kehadiran Nabi Muhammad SAW di muka bumi ini. Lebih-lebih apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW itu tidak hanya bermanfaat di kehidupan dunia ini, namun juga berfaedah di kehidupan akhirat berupa limpahan pahala, Surga dan keridhaan Allah SWT.”


Quraish Shihab melanjutkan, “Di sinilah kita bisa memahami dengan baik makna firman Allah:


Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasu-lNya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya....”  (QS. at-Taubah [9]: 24)


Demikian pula dengan makna hadits berikut:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

“Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orangtuanya, anak-anaknya dan dari manusia seluruhnya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Anas ra)


Dalam hadits lain disebutkan sebagai berikut:

عَبْدَ اللهِ بْنَ هِشَامٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ، يَا رَسُولَ اللهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآنَ يَا عُمَرُ

Abdullah bin Hisyam menuturkan, “Kami pernah bersama Nabi SAW yang saat itu beliau menggandeng tangan Umar bin Khaththab. Kemudian Umar berujar, “Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala-galanya selain diriku sendiri.” Nabi SAW bersabda, “Tidak, demi Dzat yang jiwa berada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka Umar berujar, “Sekarang demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku.” Maka Nabi SAW bersabda, “Sekarang (baru benar) wahai Umar.” (HR Bukhari)


Ketika ditanyakan kepada Imam Fakhrurazi, mengapa kita mesti bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW padahal Allah dan para malaikatnya sudah bershalawat kepada beliau? Apakah Nabi SAW membutuhkan shalawat dari kita? Maka, untuk pertanyaan itu beliau menjawab, “Rasulullah SAW tidak membutuhkan shalawat dari kita. Kita membaca shalawat pun bukan karena Rasulullah SAW membutuhkannya. Kalau pemahamannya demikian, tentu Nabi SAW pun tidak membutuhkan shalawat dari para malaikat, karena Allah SWT telah bershalawat kepada beliau. Tujuan dari shalawat yang kita baca adalah untuk menampakkan keagungan dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Seperti halnya Allah SWT memerintahkan kita untuk berdzikir, tentu bukan karena Allah membutuhkan dzikir dari kita. Namun tujuannya tiada lain kecuali untuk menampakkan keagungan Allah dari kita sebagai ungkapan kasih sayang Allah untuk memberikan pahala kepada kita.”


Perhatikanlah! Nabi SAW sama sekali tidak membutuhkan shalawat dari kita. Namun ketika Allah SWT bershalawat kepada Nabi dan itu diikuti oleh para malaikat, tersirat makna perintah Allah agar kita memuliakan dan mengagungkan beliau SAW. Dengan kata lain, Allah dan para malaikat saja memuliakan Rasulullah SAW dengan bershalawat kepadanya, lalu pantaskah kita menahan bibir dan hati ini dari membaca shalawat?


Ketahuilah, Rasulullah SAW adalah cahaya yang menerangi kita sehingga mampu membedakan antara yang hak dan yang batil. Beliau adalah pijar keimanan yang menuntun kita menempuh jalan Tuhan. Berkat beliau keimanan yang menjadi modal kebahagiaan hidup dunia – akhirat menyelimuti hati kita. Kehadiran beliau menjadi jalan turunnya kasih sayang Allah terhadap semesta. Bukankah begitu besar jasa beliau terhadap kita? Tidak ada yang lebih berjasa kepada kita di antara makhluk Allah melebihi Rasulullah SAW.


Jika ada seseorang yang melakukan satu kebaikan pada kita, kita akan berterima kasih kepadanya dan tidak akan melupakan kebaikannya itu. Lalu, adakah orang yang lebih layak kita haturkan terima kasih kepadanya selain dari Nabi Muhammad SAW? Tidak…, sekali-kali tidak! Beliaulah orang yang paling berjasa dan beliaulah yang paling layak menerima ucapan terima kasih dari kita. Bershalawat selain sebagai ungkapan cinta, juga sebagai ungkapan terima kasih dan balas budi kita pada beliau. Dari sinilah dapat dipahami mengapa akhirnya kita diperintahkan bershalawat oleh Allah SWT sebagaimana yang tertulis di dalam QS. al-Ahzab [33]: 56. Perintah itu tidaklah berasal dari permintaan Nabi, melainkan atas inisiatif murni dari Allah SWT.


Hal yang lebih mengesankan lagi dari keistimewaan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW adalah maslahat dan manfaat yang kita terima bukan hanya nanti di akhirat, namun di kehidupan dunia pun sudah bisa kita rasakan. Insya Allah akan ada pemaparan tersendiri di dalam buku perihal keajaiban-keajaiban yang dapat dirasakan oleh orang-orang yang melazimkan dirinya berdzikir dengan shalawat.







[1] Silakan rujuk: Dalail an-Nubuwwah, Juz 6 halaman 118.

Kamis, 19 Maret 2015

Mengapa Harus Bermadzhab?


Al-Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitab Al-Mizan al-Kubra (1/34) menulis: “Jika tuanku yang mulia Ali al-Khawwash rahimahullah ditanya oleh seseorang tentang mengikuti madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak, maka beliau menjawab, ‘Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir akan jatuh pada kesesatan’. Dan begitulah yang harus diamalkan oleh orang pada zaman ini.”[1]

Inilah yang sering dilupakan oleh sebagian umat Islam saat ini. Mereka mempropagandakan agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, langsung mengambil hukum darinya tanpa melalui ijtihad para ulama, sedangkan mereka belum sampai mengetahui inti agama. Imam Ali al-Khawwash telah mengingatkan kita agar mengikuti suatu madzhab selama kita belum mencapai tingkat mujtahid. Seorang yang awam, jika langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, lalu mengeluarkan hukum dari keduanya tanpa mempertimbangkan bagaimana para ulama mujtahid memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi rujukannya itu, maka sangat dimungkinkan fatwa yang dikeluarkanya sesat dan menyesatkan.

Tidak Semua Sahabat Nabi Ahli Fatwa

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya (hal. 216) berkata, “Tidaklah semua sahabat itu ahli fatwa, dan agama pun tidak diambil dari mereka semua. (Agama) hanya diambil secara khusus dari sahabat-sahabat yang menghafal Al-Qur’an dan memahami kandungannya, yang mengetahui dengan baik persoalan nasikh dan mansukh, mutasyabbih dan muhkam, dan penunjukan (pemahaman)-nya sebagaimana yang mereka terima dari Rasulullah Saw atau dari orang-orang yang (langsung) mendengar dari beliau, dan mereka dikenal dengan sebutan al Qurra’…

Keterangan Ibnu Khaldun ini memperlihatkan bahwa meskipun para sahabat adalah orang-orang yang berjumpa dengan Rasulullah Saw (langsung ataupun tidak), namun setelah wafatnya beliau, tidaklah secara otomatis mereka semua menjadi ahli agama Islam yang berhak mengeluarkan fatwa. Dari ribuan sahabat yang ditinggalkan Nabi (saat haji wada’ beliau berhaji bersama sekitar 124 ribu sahabat), hanya sekitar 130 orang saja yang menjadi rujukan saat dibutuhkan fatwa, itu pun dengan jumlah fatwa yang berbeda-beda; ada yang banyak fatwanya (sering berfatwa), ada yang sedang-sedang saja, dan ada pula yang berfatwa sesekali saja. Dari sekitar 130 orang sahabat itu, yang paling sering berfatwa hanya 7 orang saja, yakni Sayidina Umar bin Khaththab ra, Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Abdullah bin Mas’ud ra, Sayidina Abdullah bin Abbas ra, Sayidina Zaid bin Tsabit ra, Sayidina Abdullah bin Umar ra, dan Sayidah Aisyah ra.  

Perhatikanlah keadaan para sahabat yang demikian itu, ternyata tidak semua mereka mampu mengeluarkan saripati hukum syariat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Saat Rasulullah Saw wafat, beliau meninggalkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bertebaran tertulis pada tulang, pelepah, tembikar, batu atau apa saja yang bisa ditulis. Sementara Hadits-hadits Nabi belum ditulis dan masih tersimpan di dalam dada para sahabat dengan jumlah yang berbeda-beda. 

Itulah sebabnya saat mereka membutuhkan fatwa hukum, yang menjadi rujukan mereka adalah sahabat yang memiliki pengetahuan luas tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, para sahabat pun meminta fatwa kepada sahabat yang lain dan ini menjadi bukti bahwa tidak semua sahabat ‘berani’ kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui sahabat yang termasuk golongan ahli fatwa. 

Dari sahabat golongan ahli fatwa inilah muncul apa yang kita kenal dengan Madzhab (Qaul) ash-Shahabi. Dengan keluasan ilmu, mereka berijtihad dan mengajarkan hasil ijthad mereka itu kepada murid-muridnya dan terus berlanjut dari generasi ke generasi hingga memunculkan madzhab yang cukup banyak; dan yang bertahan hingga saat ini hanyalah empat madzhab, yakni madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali.

Pengertian Madzhab dan Sebab Munculnya

Secara bahasa, madzhab artinya jalan (thariqah).[2] Sedangkan secara istilah, madzhab adalah hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.[3] Karena madzhab berkaitan dengan hukum, maka madzhab tidak mungkin terbentuk pada persoalan-persoalan yang hukumnya sudah jelas (qath’i). 

Tatkala suatu persoalan dipertanyakan hukumnya dan tidak ada penjelasan secara qath’i di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentangnya, di sinilah muncul ijtihad para mujtahid setelah mempertimbangkan secara mendalam sumber-sumber hukum Islam yang berlaku, lalu hasil ijtihad itu mereka ajarkan dan disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya. Walhasil, muncullah madzhab sebagaimana yang kita kenal saat ini. Dengan demikian, madzhab pada hakikatnya adalah hasil penelitian secara mendalam yang dilakukan oleh para ulama mujtahid untuk mengetahui hukum Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, Al-Hadits serta dalil-dalil lainnya.

Mengapa Hanya Empat Madzhab?

Dalam kitab Sullam al-Wushul dituliskan: “Nabi Saw bersabda, ‘Ikutilah as- sawad al-a’zham (mayoritas umat Islam)’. Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikutinya berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari madzhab yang empat itu berarti keluar dari mayoritas.”[4]  

Sebenarnya madzhab yang boleh diikuti tidaklah terbatas hanya pada empat madzhab saja. Masih banyak madzhab lainnya yang diterima umat Islam, seperti madzhab dua Sufyan (Ats-Tsauri dan Uyainah), madzhab Ishaq bin Rahawaih, madzhab Az-Zhahiri dan madzhab Al-awza’i.[5] Namun Ahlussunnah wal Jama’ah hingga saat ini hanya menerima dan mengamalkan fatwa-fatwa dari para imam madzhab yang empat. Setidaknya ada dua faktor yang menyababkan itu terjadi.

Pertama, kreativitas murid-murid imam madzhab yang empat. Para murid ini mengumpulkan pendapat-pendapat imamnya, lalu menulis dan membukukannya sehingga terkodifikasikan dengan baik. Para murid ini pun adalah orang-orang yang terpercaya sehingga yang mereka tuliskan adalah yang benar-benar berasal dari para imam mereka. Mereka pun secara jujur menyampaikan mana yang hasil ijtihad para imam dan mana pula yang hasil ijtihad mereka sebagai murid. Walhasil, validitas sumber fatwa-fatwa yang dituliskan itu tidak diragukan lagi.

Kedua, madzhab yang empat ini telah teruji ke-shahihan-nya, karena metode istinbath yang jelas dan sistematik. Hal ini menjadikan fatwa-fatwa yang muncul dari empat madzhab ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sayyid Alawi bin Ahmad as-Seggaf berkata, “…Para tokohnya (tokoh madzhab yang empat) telah mencurahkan kemampuan mereka untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa aman (tidak merasa ragu atau khawatir) akan terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta mereka juga mengetahui pendapat yang shahih dan yang dhaif.[6]  

Nah, alasan-alasan inilah setidaknya yang menyebabkan kaum Ahlussunnah wal Jam’ah memilih untuk menerima dan mengamalkan fatwa-fatwa dari madzhab yang empat; sedangkan madzhab-madzhab lainnya hilang seiring berjalannya waktu karena tidak ditopang oleh faktor-faktor sebagaimana yang dimiliki oleh madzhab yang empat.

Mengapa Harus Bermadzhab?

Jawaban sederhana dari sub judul di atas adalah karena kita belum memiliki kemampuan untuk menjadi seorang mujtahid (orang yang berhak berijtihad). Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahkan seorang Muslim sekaliber para sahabat pun tidak seluruhnya menjadi mujtahid. Sebagian besar dari mereka justru meminta fatwa kepada sahabat-sahabat lainnya yang tergolong mujtahid, yang jumlahnya sangat sedikit.

Jika demikian kenyataannya, bagaimana dengan kita saat ini? Akankah setiap kita berijtihad dengan langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang untuk mengetahui arti ayat Al-Qur’an yang kita baca ataupun Al-Hadits harus membuka terjemahnya? Kalau seperti itu kemampuan kita, layakkah kita mengajak umat Islam ini untuk tidak bermadzhab dan mendorong mereka untuk langsung mengeluarkan hukum dari kedua sumber utama hukum Islam itu?

Untuk menjadi seorang mujtahid tidaklah mudah. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Beberapa di antaranya, harus menguasai seluk beluk Al-Qur’an, termasuk di dalamnya tentang ayat-ayat hukum, asbabun nuzul, nasikh - mansukh, mujmal – mubayyan, al-‘am wa al-khash, dan sebagainya. Seorang mujtahid juga harus menguasai seluk beluk Hadits, termasuk di dalamnya asbabul wurud, rijal al-hadits, dan sebagainya. Juga harus menguasai persoalan-persoalan yang sudah menjadi ijma’, memahami qiyas, menguasai ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, sharf, balaghah, dan sebagainya. Juga harus menguasai ilmu ushul fiqh dan disiplin ilmu lainnya yang cukup banyak.[7]

Jika persyaratan yang demikian itu belum kita miliki, maka sudah selayaknya kita bermadzhab. Bahkan, ulama sekaliber Imam Bukhari, Imam Nawawi, Imam Al-Ghazali, dan Imam Ibnu Hajar Al-Asqallani saja masih bermadzhab. Apabila dibandingkan keadaan kita dengan para ulama besar tersebut, layakkah kita melepaskan diri dari bermadzhab?

Kenyataan bahwa para ulama besar saja bermadzhab menjadi jawaban telak atas ajakan kelompok anti madzhab untuk meninggalkan pendapat para ulama dan merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam menetapkan suatu hukum. Bagaimana mungkin kita akan meninggalkan pendapat ulama, sedangkan untuk menentukan sebuah Hadits itu shahih atau dhaif saja kita harus merujuk kepada para ulama Hadits. Kita meyakini ke-shahih-an Hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari tentu bukan karena hasil penelitian kita, namun semata-mata kita bersandar kepada fatwa Imam Bukhari atas status Hadits-hadits  tersebut. Dengan cara seperti itukah kita akan menolak pendapat para ulama, lalu mengajak langsung kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits? Sungguh ajakan dan propaganda yang terdengar manis namun menimbulkan banyak hal pahit di tengah kehidupan umat Islam. Maka, jalan yang paling selamat adalah memilih bermadzhab dengan salah satu dari empat madzhab yang ada. Wallaahu a’lam. (J. Rinaldi)

     




  






[1] Ahkamul Fuqaha, hal. 2.
[2] Al Qamus al Muhith, hal. 86.
[3] Al Idza’ah al Muhimmah, hal. 18 dalam buku Fiqh Tradisionalis karya KH. Muhyiddin Abdusshomad, hal. 53.
[4] Ahkamul Fuqaha, hal. 3.
[5] Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 59.
[6] Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 59.
[7] Lebih lengkap silakan baca Ushul al Fiqh, karya Abu Zahrah, hal. 380-389.

Selasa, 10 Maret 2015

Wirid Menjelang Tidur


Ketika hari telah larut malam dan kantuk mulai menyerang seorang pasti ingin segera menyerahkan diri kepada kasur dan ranjang. Akan tetapi bagi seorang muslim penyerahan itu harus disertai dengan rasa pasrah yang mendalam. Pasrah kepada Allah swt dengan berdo’a dan berdzikir telebih dahulu. Sebagaimana diajarkan Rasululah saw kepada Sayyidah Aisyah ra.

Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw pernah berkata kepada Aisyah “Janganlah engkau tidur sebelum mengerjakan empat hal. Pertama menghatamkan al-Qur’an. Kedua menjadikan para Nabi sebagai pemberi syafaat bagimu. Ketiga meminta ridha dari semua kaum muslimin. Keempat melaksanakan haji dan Umrah”. Kemudian Aisyah menjawab “bagaimana aku bisa melakukan keempat hal tersebut?” seraya tersenyum Rasulullah saw berkata “Apabila engkau membaca surat al-Ikhlas tiga kali, maka seakan-akan engkau telah menghatamkan al-Qur’an. Dan apabila engkau bershalat kepadaku dan kepada semua Nabi-Nabi maka engkau sama dengan menjadikan kami sebagai pemberi syafaatmu. Dan apabila engkau beristighfar untuk kaum muslimin, maka engkau telah menjadikan mereka ridha kepadamu. Dan terakhir apabila engkau membaca tasbih seolah engkau telah melaksanakan haji dan umrah."

Demikianlah petunjuk dari Rasulullah saw kepada Aisyah. Bacaan selengkapnya adalah sebagai berikut:

قل هو الله أحد ... (3)
(Qul huwallau ahad ... hingga selesai di baca sebanyak 3x)

اللهم صل على سيدنا محمد وعلى جميع الأنبياء والمرسلين (3)
(Allahumma shalli ala sayyidina Muhammadin wa ala jami’il anbiya’ wal mursalin, 3x)

اللهم اغفرلى ولولدي ولجميع المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات (1)
(Allahummaghfirli wa liwalidayya wa li jami’il muslimin wal muslimat wal mu’minin wal mu’minat, 1x)

سبحان الله والحمد لله ولا اله الا الله والله اكبر ولا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم (7)
(Subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar, wa la haula wa la quwwata illa billahil aliyyil adhim, 7x) 

Itulah amalan yang diajarkan Rasulullah menjelang tidur. Sebagaimana yang diajarkan beliau kepada Sayyidah Aisyah. Dan hendaknya diikuti oleh segenap orang muslim.

Inilah Alasannya Mengapa Anda Harus Bershalawat?

Perlu diketahui bahwa bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah sebuah amal yang diada-adakan (bid’ah). Membaca shalawat bukanlah amaliah yang muncul akhir-akhir ini. Ia memiliki landasan syariat yang secara langsung disampaikan perintahnya oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an. Simaklah ayat berikut ini:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56)

Apa yang terlintas di hati Anda setelah membaca dan memperhatikan ayat di atas? Tentunya Anda menemukan informasi yang begitu jelas bahwa Allah sendiri sebagai Sang Pencipta Nabi Muhammad SAW turut bershalawat kepadanya. Tidak ada satu amalan pun yang diperintahkan Allah kepada kita untuk melaksanakannya dan Dia sendiri melakukannya selain shalawat. Allah SWT memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi SAW dan Dia pun turut bershalawat.


Para malaikat yang masyhur dengan sifat-sifat mereka yang selalu taat kepada Allah turut serta melantunkan shalawat kepada Nabi rahmatan lil ‘aalamiin ini. Tentu saja hal itu menjadi bukti utama bahwa shalawat merupakan amaliah yang sangat mulia dalam pandangan Allah Ta’ala. Jika memang demikian keadaannya, mengapa kita masih merasa berat untuk melantunkan shalawat? Apa lagi alasan yang bisa kita ajukan untuk menutupi keburukan kita yang tidak mau bershalawat, sementara Allah SWT yang telah menciptakan kita bershalawat kepada Nabi SAW? Aduh…!!! Alangkah buruknya keadaan orang yang tidak mau bershalawat, apalagi sampai menuduh bid’ah dan musyrik kaum Muslimin yang terikat hatinya untuk selalu melantunkan shalawat kepada Rasulullah SAW.


Kata Quraish Shihab, melalui ayat di atas seolah-olah Allah ingin menegaskan kepada kita bahwa Allah sebagai Dzat Yang Maha Agung, Maha Kuasa dan Yang terhimpun segala sifat terpuji pada diri-Nya bershalawat kepada Nabi. Demikian pula para malaikat menaruh rasa hormat dan kagum yang begitu mendalam kepada Nabi SAW, sehingga Allah dan para malaikat terus menerus bershalawat untuk beliau. Shalawat Allah adalah limpahan rahmat dan aneka anugerah untuk Nabi SAW. Sedangkan shalawat para malaikat adalah permohonan agar Allah senantiasa meninggikan derajat beliau di sisi-Nya dan mencurahkan ampunan untuk beliau sebagai makhluk Allah yang paling mulia dan paling berjasa kepada manusia karena telah memperkenalkan Allah dan jalan yang lurus kepada mereka, yang dengannya akan mereka raih kebagiaan dunia dan akhirat.


Karena itu, lanjut Quraish Shihab, Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk bershalawat kepada Nabi. Yakni memohonkan agar Allah kiranya lebih mencurahkan lagi rahmat-Nya kepada beliau. Di samping itu tersirat pula perintah agar kita sebagai kaum beriman menghindarkan dari beliau segala aib dan kekurangan; senantiasa menyebut-nyebut dan mengingat-ingat keistimewaan dan jasa beliau; serta mengucapkan salam penghormatan kepada beliau dengan ungkapan salam yang sempurna lagi penuh tuntunan beliau.


Keistimewaan bershalawat semakin tampak begitu jelas manakala kita bandingkan ia dengan amal-amal saleh lainnya. Ada banyak amalan yang diperintahkan Allah di dalam al-Qur’an, namun Allah tidak ikut menunaikannya. Cobalah Anda perhatikan: Allah memerintahkan kita untuk menunaikan shalat, namun Allah sendiri tidak shalat. Allah memerintahkan kita untuk membayar zakat, namun Allah sendiri tidak mengeluarkan zakat. Allah memerintahkan untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi siapa saja yang mampu sampai ke sana, namun Allah sendiri tidak berhaji. Berbeda halnya dengan shalawat. Allah memerintahkan kita untuk bershalawat, Allah dan para malaikat ikut secara intens bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.


Keadaan itu selain menunjukkan betapa agung dan mulianya kedudukan shalawat di sisi Allah, juga memperlihatkan betapa besar pengagungan Allah kepada Baginda Nabi SAW. Jika Allah saja sangat mengagungkan dan memuliakan beliau, mestinya kita sebagai seorang Muslim jauh lebih berkewajiban untuk melakukan hal itu. Jika Allah saja bershalawat kepada beliau, demikian pula para malaikat, maka tentunya kita yang menyandang predikat Muslim ini jauh lebih layak untuk bershalawat kepada beliau.


Sebenarnya satu ayat al-Qur’an di atas sudah cukup menjadi dalil disyariatkannya membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Seorang Mukmin tentu tidak membutuhkan banyak dalil untuk meyakinkannya bahwa bershalawat adalah salah satu bentuk amaliah yang bernilai pahala di sisi Allah SWT. Namun ada baiknya di sini juga dipaparkan sejumlah hadits yang menjelaskan perintah bershalawat dan keutamaannya. Sebenarnya ada banyak hadits tentang itu, namun cukuplah di sini kami sampaikan hadits-hadits yang dicantumkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar.


Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

 رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Celakalah seseorang yang ketika aku disebut-sebut di hadapannya, ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku.” (HR Tirmidzi, dan beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Abdullah bin Amr bin Ash ra meriwayatkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
“Barangsiapa yang membaca shalawat untukku satu kali, niscaya Allah membalas shalawatnya sebanyak sepuluh kali.” (HR Muslim)

Diriwayatkan dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلْيُصَلِّ عَلَيَّ، فَاِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ مَرَّةً صَلَّى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ عَشْرًا
“Barangsiapa yang mendengar namaku disebut di hadapannya, hendaklah ia mengucapkan shalawat untukku. Karena sesungguhnya barangsiapa yang membaca shalawat untukku sekali, maka Allah ‘Azza wa Jalla membalas shalawatnya sepuluh kali.” (HR Ibnu Sinni)

Dalam hadits lain pernah dikatakan bahwa orang yang tidak mau membaca shalawat saat nama Nabi SAW disebut adalah seorang yang bakhil (kikir). Simaklah riwayat dari Ali bin Abu Thalib ra berikut ini yang menyatakan bahwa Nabi SAW telah bersabda:

الْبَخِيْلُ الَّذِيْ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang yang bakhil adalah orang yang apabila aku disebut di hadapannya, maka ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku.” (HR Tirmidzi, dan beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Sementara itu, Abu Hurairah ra juga pernah menuturkan bahwa ia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

وَلاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا، وَصَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Dan janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai hari raya. Bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” (HR Abu Dawud)


Abu Hurairah ra juga meriwayatkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِيْ حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ
“Tidaklah seseorang memberikan salam kepadaku melainkan Allah akan mengembalikan ruhku hingga aku dapat membalas salamnya itu.” (HR Abu Dawud)

Seorang sahabat bernama Aus bin Aus ra menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: 

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ، فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيهِ، فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ. فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ؟ يَعْنِي بَلِيتَ. قَالَ إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى اْلأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ اْلأَنْبِيَاءِ
“Yang paling utama dari hari-hari kalian adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan, sangkakala ditiup dan manusia sadar dari pingsannya. Maka perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari itu, sebab shalawat kalian diperlihatkan kepadaku.” Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana caranya shalawat kami diperlihatkan kepadamu, padahal dirimu telah meninggal?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (HR Ibnu Majah)

Bila sejumlah hadits di atas belum memuaskan Anda, akan kami tambahkan tiga hadits lainnya yang menegaskan betapa mulianya kedudukan orang yang bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Dalam sebuah hadits disebutkan: “Setiap Mukmin yang bershalawat kepada Nabi satu kali, niscaya malaikat Jibril memohonkan rahmat untuknya sepuluh kali.” (HR Ibnu Majah)


Abdullah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً سَيَّاحِيْنَ فِي اْلأَرْضِ يُبَلِّغُوْنِيْ مِنْ أُمَّتِي السَّلاَمَ
“Allah memiliki malaikat yang berkeliling di muka bumi. (Tugas) mereka menyampaikan salam dari umatku kepadaku.” (HR Nasa’i)

Hadits berikut ini juga tidak kalah pentingnya untuk Anda perhatikan perihal kedudukan orang yang melazimkan dirinya membaca shalawat. 

Abdullah bin Mas’ud ra berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:

أَوْلَى النَّاسِ بِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلاَةً
“Orang yang paling dekat denganku pada hari Kiamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR Tirmidzi)

Demikianlah kami paparkan ke hadapan Anda sejumlah dalil, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits, agar Anda termotivasi untuk melazimkan membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. Informasi dari dalil-dali di atas memperlihatkan kepada kita bahwa shalawat bukan hanya sekedar ibadah yang mengandung pahala di sisi Allah, namun juga menjadi jalan bagi kita untuk senantiasa mencintai Rasulullah SAW.

Kedudukan shalawat begitu penting di dalam Islam. Shalat sebagai ibadah yang paling utama di antara sekian banyak ibadah yang disyariatkan tidak akan sah kecuali di dalamnya membaca shalawat setelah tasyahud. Shalawat setelah tasyahud termasuk bagian dari rukun shalat, sehingga apabila ditinggalkan maka shalatnya menjadi tidak sah.

Di antara sekian banyak doa, dzikir dan wirid yang biasa dilafalkan baik dalam ritual yang bersifat spiritual maupun kultural, shalawat memiliki kedudukan yang khas yang selalu diperhitungkan oleh setiap Muslim. Ia menjadi jalan perantara (wasilah) setiap Muslim ketika bermunajat kepada Allah SWT. Sebagai umat Rasulullah SAW selayaknya kita menjadikan shalawat sebagai penanda berbagai peristiwa penting dalam kehidupan kita, mulai dari pernikahan, kelahiran anak, memperoleh rezki, lulus ujian, terhindar dari marabahaya, memasuki rumah baru dan sebagainya. Singkat kata, hendaklah kita melazimkan bibir dan hati kita bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dalam setiap detik kehidupan kita dan menjadikannya sebagai doa dan munajat kita kepada Allah SWT.

Hak Allah Atas Setiap Hamba


Pertanyaan: Apa hak Allah yang harus dipenuhi oleh semua hamba?

Jawaban: Hak Allah yang harus dipenuhi oleh setiap hamba adalah hendaknya semua hamba menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan-Nya.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

Dari Mu'adz bin Jabal ra, ia berkata: Saya pernah di belakang Nabi Saw di atas seekor keledai lalu beliau bersabda: "Hai Mu'adz, apakah kamu mengerti hak Allah atas hamba? Dan apakah hak kamba atas Allah?" Aku berkata: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengerti." Beliau bersabda: "Sesungguhnya hak Allah atas semua hamba ialah hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan-Nya, sedangkan hak hamba atas Allah ialah Allah tidak menyiksa siapa di antara mereka yang tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya." (HR Imam Muslim)

Di antara kewajiban-kewajiban yang paling mendasar atas semua hamba adalah mengetahui persoalan tujuan ia diciptakan, yaitu ibadah kepada Allah Swt. Allah menciptakan makhluk ini hanya agar beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:

وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56) 

Hak Allah Swt yang harus dipenuhi oleh setiap hamba itu besar, anugerah-Nya kepada hamba-Nya sangat luas dan merata. Mereka diciptakan oleh Allah dengan bentuk yang baik dan sempurna, melimpahkan kepadanya segala macam nikmat dan menunjukkannya kepada agama yang lurus, yaitu agama Islam. 

Andaikata tiap-tiap hamba bersujud kepada Allah di atas bara api sejak dunia diciptakan hingga saat kehancurannya nanti, maka ia  belumlah memenuhi hak nikmat Islam dan Iman yang dianugerahkan Allah padanya. 

Allah Swt menganugerahkan nikmat-nikmat yang bersifat spiritual dan material, lahir dan batin, kepada setiap hamba-Nya yang tidak terbatas, yang andaikata lautan ini dijadikan tinta dan tanam-tanaman dijadikan pena lalu dibuat menulis jumlah nikmat Allah kepada hamba-Nya, tentu semua itu akan habis sebelum mampu menghitung satu persen dari nikmat-nikmat Allah.

Allah Swt berfirman:

وإن تعدوا نعمة الله لا تحصوها
"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya." (QS. Ibrahim: 34)

واسبغ عليكم نعمه ظاهرة وباطنة
"Dan Dia menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin." (QS. Luqman: 20)