Minggu, 19 April 2015

Air Najis dan Air Tidak Najis


Imam Syafi'i berkata, "Air terbagi menjadi dua, yakni air mengalir dan air diam (tidak mengalir)."

A. Air Mengalir
 
Imam Syafi'i berkata, "Apabila ada bangkai, darah, atau barang najis (haram) lainnya jatuh ke dalam air yang mengalir, jika ia jatuh pada sisi di mana air menggenang dan tidak mengalir, maka air yang berada pada sisi itu di sebut air diam dan berhukum najis, tentunya jika air diam itu kurang dari lima qurb. Tapi jika air diam itu lebih dari lima qurb maka air diam itu tidaklah najis, kecuali jika ada perubahan rasa, warna dan bau. 

"Sesungguhnya yang disebut air mengalir adalah air yang tidak diam. Apabila ada bangkai hanyut atau sesuatu yang bercampur dengan air mengalir itu, maka seseorang boleh berwudhu dengan air yang mengalir yang mengikuti bangkai, karena air tersebut bukanlah air di mana bangkai berada dan najis tidak bercampur dengan air tersebut.

"Apabila air bervolume sedikit, maka seseorang boleh berwudhu menggunakan air di sekitar bangkai selama air yang ada di sekitar bangkai tidak kurang dari lima qurb. Apabila kurang dari lima qurb, maka ia hanya boleh berwudhu dengan air yang sudah ditinggalkan bangkai."

Imam Syafi'i juga berkata, "Jika air yang mengalir tersebut, baik sedikit maupun banyak, bercampur najis dan berubah baunya, rasanya, atau warnanya, maka air itu berhukum najis. Apabila aliran air melewati sesuatu yang berubah akibat bercampur dengan benda haram (najis) yang mengubah (salah satu sifatnya), kemudian ada air lain mengalir dan tidak berubah akibat najis, maka aliran air yang tidak berubah tersebut tetap suci, sementara air yang berubah tersebut berhukum najis."

Catatan:
Lima qurb sepadan dengan segi empat yang panjang, dalam dan luasnya seukuran 1 1/4 dzira'. Untuk ukuran melingkar dalamnya dua dzira' dengan garis tengah sepanjang satu dzira'. Untuk ukuran melingkar dzira' yang dipakai adalah dzira' yang dipakai dalam arsitektur. Sedangkan ukuran dzira' untuk segi empat adalah dzira' (lengan) manusia dewasa.  

B. Air Diam

Air diam terbagi dua:

Pertama, air yang tidak najis akibat bercampur dengan sesuatu yang haram; tentunya jika warna, bau, rasa sesuatu yang haram itu tidak mempengaruhi air. Apabila sesuatu yang haram itu berada dalam air dengan meninggalkan salah satu yang kami sebutkan tadi, maka air itu najis, baik air itu sedikit maupun banyak, baik air itu mengalir atau diam.

Kedua, air najis akibat bercampur dengan sesuatu yang haram meskipun sesuatu itu tidak berada dalam air. Apabila ada yang bertanya, apa dalil dalam membedakan air najis dan air tidak najis padahal keduanya tidak berubah? Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, sesungguhnya Nabi Saw bersabda: 'Apabila air sebanyak dua qullah, maka air itu tidak mengandung najis." (HR Turmudzi dan Abu Dawud -- pen)

Imam Syafi'i berkata: "Apbila volume airnya lima qurb maka air itu tidak mengandung najis, baik mengalir ataupun tidak mengalir. Apabila ada air kurang dari lima qurb kemudian bercampur dengan bangkai, maka air itu berhukum najis. Untuk menyucikan tempat air itu  seseorang hanya cukup membuang air itu dan mencucinya. Apabila ada air kurang dari lima qurb bercampur dengan sesuatu yang najis dan sesuatu yang najis itu tidak mempengaruhi air itu, maka air itu tetap berhukum najis. Apabila air itu ditambah dengan air lainnya hingga mencapai lima qurb atau lebih, maka air itu menjadi suci sebagaimana ketika air itu dituangkan ke air yang lebih sedikit atau lebih banyak dan kemudian keduanya menjadi lima qurb atau lebih. Apabila penambahan air itu membuatnya bervolume lima qurb maka air itu menjadi suci; dan apabila yang sudah menjadi lima qurb itu dibagi menjadi dua, maka keduanya tidak lagi najis kecuali jika ada najis yang jatuh ke dalam air itu."

Imam Syafi'i berkata: "Semua kotoran burung, baik yang dagingnya boleh dimakan ataupun tidak, apabila kotoran itu jatuh ke dalam air maka air itu berhukum najis karena kotorang itu menjadi basah dan meleleh oleh air. Keringat orang Kristen, orang junub, dan haid berhukum suci sebagaimana keringat orang Majusi. Keringat dan air liur semua binatang juga berhukum suci, kecuali keringat dan air liur anjing dan babi."

Imam Syafi'i berkata: "Seandainya ada orang berkeringat kemudian keringat itu menetes ke dalam air maka air itu tidak menjadi najis karena keringat manusia dan binatang tidak najis, meskipun keringat itu keluar dari lengan atau dari bagian tubuh lainnya." (Bersambung...)  

0 komentar:

Posting Komentar