Sabtu, 11 April 2015

Memahami Pengertian Bid'ah

Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan:
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah SAW. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).

Menurut pengertian yang diberikan oleh Imam Izzuddin bin Abdissalam ini, seluruh perbuatan atau amalan keagamaan yang belum ada dan tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW adalah bid’ah, meskipun perbuatan itu adalah perbuatan yang baik.

Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushhaf, menulis kitab-kitab hadits, membukukan berbagai kajian fiqh dan tafsir, memperingati maulid Nabi SAW, khutbah dengan selain bahasa Arab, menunaikan ibadah haji dengan naik pesawat, arisan haji, pengajian setiap Ahad pagi, dan berbagai macam amalan baik lainnya adalah bid’ah. Mengapa? Karena semua hal itu belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW.

Namun demikian beliau tidak berpandangan bahwa semua yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW dianggap sebagai bid’ah dhalalah (bid’ah sesat dan tercela), yang pelakunya diancam akan disiksa di dalam neraka. Beliau justru membagi bid’ah ke dalam lima bagian. Ketika menjelaskan kelima macam bid’ah itu beserta contoh-contohnya, beliau berkata: 

Bid’ah wajibah (bid’ah wajib) memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang dhaif (lemah). Bid’ah muharramah (bid’ah haram) memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran Qadariyah, Jahamiyah, Murji’ah, dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap berbagai bid’ah tersebut termasuk bid’ah yang wajib.

Bid’ah mandubah (bid’ah sunnah) memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan madrasah-madrasah, jembatan-jembatan, dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa generasi awal, di antaranya adalah shalat Tarawih. Bid’ah makruhah (bid’ah makruh) memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf al-Qur’an. Bid’ah mubahah (bid’ah mubah) memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran...” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/173).

Lima macam bid’ah ini bisa dikelompokkan menjadi dua bagian besar, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i berikut ini:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ اِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلاَلَةِ  وَمَا اُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًَا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌُ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍِ
“Perkara yang baru terbagi menjadi dua bagian. Pertama, sesuatu yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Atsar (apa yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkari), inilah bid’ah yang sesat. Kedua perkara yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, inilah sesuatu yang baru yang tidak tercela.” (Manaqib al-Syafi’i, 1/469).

Kalau kita perhatikan ungkapan Imam Syafi’i di atas terlihat dengan jelas bahwa beliau membagi bid’ah ke dalam dua kategori: bid’ah dhalalah (bid’ah sesat/tercela) dan bid’ah hasanah (bid’ah terpuji/baik). Yang menjadi tolok ukur dalam membedakan mana bid’ah tercela dan mana bid’ah terpuji adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar para sahabat, dan Ijma’ para ulama. Jika sesuatu yang baru itu bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’, maka ia tergolong bid’ah dhalalah. Sedangkan apabila ia bersesuaian dengan hal-hal tersebut, maka ia tergolong bid’ah hasanah, sekalipun belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW.

Bahkan Imam Syafi’i menafikan nama bid’ah terhadap sesuatu yang memiliki landasan syar’i meskipun belum pernah diamalkan pada masa salaf.

Simaklah perkataan beliau berikut ini:
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ تَرْكَهُمْ لِلْعَمَلِ بِهِ قَدْ يَكُوْنُ لِعُذْرٍِ قَامَ لَهُمْ فِي الْوَقْتِ أَوْ لِمَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْ جَمِيْعَهُمْ عِلْمٌ بِهِ -- الحافظ الغمار، إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة، ص/٥
“Segala sesuatu yang memiliki dasar dari dalil-dalil syar’i, maka bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amalan lain yang lebih utama, dan atau barangkali hal itu belum terlintas di dalam pengetahuan mereka.”

Ketika Imam Syafi’i berkata demikian tentunya Anda tidak akan berpikir bahwa ucapan itu tanpa dalil. Namun rasanya kurang tepat bila tidak kami sertakan di sini dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat beliau saat membagi bid’ah menjadi dua bagian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Dalil Pertama:
Hadits yang bersumber dari Aisyah ra yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
‏ ‏مَنْ ‏ ‏أَحْدَثَ ‏ ‏فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ ‏‏رَدٌّ
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syariat ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak.” (HR Muslim). 

Dalil Kedua:
Hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdillah al-Bajali ra yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut, juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barangsiapa merintis dalam Islam sunnah (perbuatan) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut, juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim).

Coba perhatikan hadits tersebut. Tidakkah di dalamnya terdapat kebolehan, bahkan anjuran agar setiap Muslim mengadakan (menciptakan) sunnah hasanah (perbuatan baik). Ada janji Nabi SAW di dalam hadits tersebut yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang merintis perbuatan baik di dalam agama ini, lalu ada orang lain yang mengikutinya, maka ia akan memperoleh dua macam pahala: pahala karena ia telah merintis sebuah perbuatan baik dan pahala karena ada orang lain yang mengikuti perbuatan baik yang dirintisnya itu. 

Sebaliknya, yang dilarang adalah merintis (menciptakan/mengadakan) perbuatan buruk. Nabi SAW mengancam orang-orang yang melakukan hal ini dengan dua macam dosa: dosa rintisannya terhadap perbuatan buruk dan dosa karena ada orang yang mengikuti perbuatan buruknya itu. 

Dalil Ketiga:
Hadits yang bersumber dari Abdurrahman bin Abd al-Qari ra, tentang perkataan Umar bin Khaththab ra berkaitan dengan shalat Tarawih berjamaah yang beliau anjurkan:
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”  (HR Bukhari dan Malik).

Berdasarkan pada tiga hadits di atas muncullah pendapat Imam Syafi’i seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amalan yang akan menambah syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. (J. Rinaldi)

0 komentar:

Posting Komentar