Minggu, 19 April 2015

Puasa Bulan Rajab Itu Sunnah Bukan Bid'ah


Bulan ini kita telah memasuki dalam bulan Rajab. Tidak sedikit kaum Muslimin di Indonesia, yang mentradisikan puasa Sunnah ketika memasuki bulan-bulan mulia seperti bulan Rajab. Persoalannya, setelah merebaknya aliran Salafi-Wahabi di Indonesia, beragam tradisi ibadah dan keagamaan yang telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Nusantara, seperti puasa Sunnah di bulan Rajab selalu dipersoalkan oleh mereka dengan alasan bid’ah, haditsnya palsu dan alasan-alasan lainnya. Seakan-akan mereka ingin menghalangi umat Islam dari mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan beribadah puasa. Oleh karena itu tulisan ini, berupaya menjernihkan hukum puasa Rajab berdasarkan pandangan para ulama yang otoritatif.

Hukum Puasa Rajab

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa Rajab.

Pertama, mayoritas ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa puasa Rajab hukumnya Sunnah selama 30 hari. Pendapat ini juga menjadi qaul dalam madzhab Hanbali.

Kedua, para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa berpuasa Rajab secara penuh (30 hari) hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan puasa pada bulan-bulan yang lainnya. Kemakruhan ini akan menjadi hilang apabila tidak berpuasa dalam satu atau dua hari dalam bulan Rajab tersebut, atau dengan berpuasa pada bulan yang lain. Para ulama madzhab Hanbali juga berbeda pendapat tentang menentukan bulan-bulan haram dengan puasa. Mayoritas mereka menghukumi sunnah, sementara sebagian lainnya tidak menjelaskan kesunnahannya.

Berikut pernyataan para ulama madzhab empat tentang puasa Rajab.

Madzhab Hanafi

Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (1/202) disebutkan:

في الفتاوي الهندية 1/202 : ( المرغوبات من الصيام أنواع ) أولها صوم المحرم والثاني صوم رجب والثالث صوم شعبان وصوم عاشوراء ) اه

“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”

Madzhab Maliki

Dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241), ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, al-Kharsyi berkata:

(والمحرم ورجب وشعبان ) يعني : أنه يستحب صوم شهر المحرم وهو أول الشهور الحرم , ورجب وهو الشهر الفرد عن الأشهر الحرم ) اه وفي الحاشية عليه : ( قوله : ورجب ) , بل يندب صوم بقية الحرم الأربعة وأفضلها المحرم فرجب فذو القعدة فالحجة ) اه
“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan pinggirnya: “Maksud perkataan pengaram, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan serupa bisa dilihat pula dalam kitab al-Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah al-Thalib al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil (1/513) dan al-Taj wa al-Iklil (3/220).

Madzhab Syafi’i

Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439),

قال الإمام النووي في المجموع 6/439 : ( قال أصحابنا : ومن الصوم المستحب صوم الأشهر الحرم , وهي ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب , وأفضلها المحرم , قال الروياني في البحر : أفضلها رجب , وهذا غلط ; لحديث أبي هريرة الذي سنذكره إن شاء الله تعالى { أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم ) اه

“Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.”)”.
Pernyataan serupa dapat dilihat pula dalam Asna al-Mathalib (1/433), Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53),  Mughni al-Muhtaj (2/187), Nihayah al-Muhtaj (3/211) dan lain-lain.

Madzhab Hanbali

Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata dalam kitab al-Mughni (3/53):

قال ابن قدامة في المغني 3/53 فصل : ويكره إفراد رجب بالصوم . قال أحمد : وإن صامه رجل , أفطر فيه يوما أو أياما , بقدر ما لا يصومه كله … قال أحمد : من كان يصوم السنة صامه , وإلا فلا يصومه متواليا , يفطر فيه ولا يشبهه برمضان ) اه

“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”

Ibnu Muflih berkata dalam kitab al-Furu’ (3/118):

وفي الفروع لابن مفلح 3/118 : ( فصل : يكره إفراد رجب بالصوم نقل حنبل : يكره , ورواه عن عمر وابنه وأبي بكرة , قال أحمد : يروى فيه عن عمر أنه كان يضرب على صومه , وابن عباس قال : يصومه إلا يوما أو أياماوتزول الكراهة بالفطر أو بصوم شهر آخر من السنة , قال صاحب المحرر : وإن لم يله .

“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal mengutip: “Makruh, dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu Bakrah.” Ahmad berkata: “Memuku seseorang karena berpuasa Rajab”. Ibnu Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab, kecuali satu hari atau beberapa hari yang tidak berpuasa.” Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan yang lain dalam tahun yang sama. Pengarang al-Muharrar berkata: “Meskipun bulan tersebut tidak bergandengan.”

DALIL PUASA RAJAB

Dalil Mayoritas Ulama

Mayoritas ulama yang berpandangan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah sebulan penuh, berdalil dengan beberapa banyak hadits dan atsar. Dalil-dalil tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga:

Pertama, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan puasa sunnah secara mutlak. Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53) dan fatwa beliau mengutip dari fatwa al-Imam Izzuddin bin Abdussalam (hal. 119):

قال ابن حجر كما في الفتاوى الفقهية الكبرى 2/53 ويوافقه إفتاء العز بن عبد السلام فإنه سئل عما نقل عن بعض المحدثين من منع صوم رجب وتعظيم حرمته وهل يصح نذر صوم جميعه فقال في جوابه :نذر صومه صحيح لازم يتقرب إلى الله تعالى بمثله والذي نهى عن صومه جاهل بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء الذين دونوا الشريعة لم يذكر أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه بل يكون صومه قربة إلى الله تعالى لما جاء في الأحاديث الصحيحة من الترغيب في الصوم مثل : قوله صلى الله عليه وسلم { يقول الله كل عمل ابن آدم له إلا الصوم } وقوله صلى الله عليه وسلم { لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك } وقوله { إن أفضل الصيام صيام أخي داود كان يصوم يوما ويفطر يوما } وكان داود يصوم من غير تقييد بما عدا رجبا من الشهور ) اه

“Ibnu Hajar, (dan sebelumnya Imam Izzuddin bin Abdissalam ditanya pula), tentang riwayat dari sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan mengagungkan kemuliaannya, dan apakah berpuasa satu bulan penuh di bulan Rajab sah? Beliau berkata dalam jawabannya: “Nadzar puasa Rajab hukumnya sah dan wajib, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukannya. Orang yang melarang puasa Rajab adalah orang bodoh dengan pengambilan hukum-hukum syara’. Bagaimana mungkin puasa Rajab dilarang, sedangkan para ulama yang membukukan syariat, tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan yang makruh dipuasai. Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang dapat mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang datang dalam hadits-hadits shahih yang menganjurkan berpuasa seperti sabda Nabi SAW: “Allah berfirman, semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya kecuali puasa”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” Nabi Dawud AS berpuasa tanpa dibatasi oleh bulan misalnya selain bula Rajab.”

Al-Syaukani berkata dalam Nail al-Authar (4/291):

وقال الشوكاني في نيل الأوطار 4/291 : ( وقد ورد ما يدل على مشروعية صومه على العموم والخصوص : أما العموم : فالأحاديث الواردة في الترغيب في صوم الأشهر الحرم وهو منها بالإجماع . وكذلك الأحاديث الواردة في مشروعية مطلق الصوم … ) اه

“Telah datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa pada bulan-bulan haram. Sedangkan Rajab termasuk bulan haram berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnat secara mutlak.”

Kedua, hadits-hadits yang menganjurkan puasa bulan-bulan haram, antara lain hadits Mujibah al-Bahiliyah. Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam al-Sunan (2/322) sebagai berikut ini:

عن مجيبة الباهلية عن أبيها أو عمها أنه : أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم انطلق فأتاه بعد سنة وقد تغيرت حالته وهيئته فقال يا رسول الله أما تعرفني قال ومن أنت قال أنا الباهلي الذي جئتك عام الأول قال فما غيرك وقد كنت حسن الهيئة قال ما أكلت طعاما إلا بليل منذ فارقتك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لم عذبت نفسك ثم قال صم شهر الصبر ويوما من كل شهر قال زدني فإن بي قوة قال صم يومين قال زدني قال صم ثلاثة أيام قال زدني قال صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك وقال بأصابعه الثلاثة فضمها ثم أرسلها )

Dari Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah SAW kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya, sedangkan kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau masih mengenalku?” Beliau bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku Bahili, yang datang tahun sebelumnya.” Nabi SAW bertanya: “Kondisi fisik mu kok berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali malam hari sejak meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Mengapa kamu menyiksa diri?” Lalu berliau bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari dalam setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.” Beliau menjawab: “Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah, aku masih kuat.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439): “Nabi SAW menyuruh laki-laki tersebut berpuasa sebagian dalam bulan-bulan haram tersebut dan meninggalkan puasa di sebagian yang lain, karena berpuasa bagi laki-laki Bahili tersebut memberatkan fisiknya. Adapuan bagi orang yang tidak memberatkan, maka berpuasa satu bulan penuh di bulan-bulan haram adalah keutamaan.” Komentar yang sama juga dikemukakan oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (1/433) dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).

Ketiga, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab secara khusus. Hadits-hadits tersebut meskipun derajatnya dha’if, akan tetapi masih diamalkan dalam bab fadhail al-a’mal, seperti ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).

Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan puasa Rajab secara khusus adalah hadits Usamah bin Zaid berikut ini:

في سنن النسائي 4/201 : ( عن أسامة بن زيد قال قلت : يا رسول الله لم أرك تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان ) اه

Dalam Sunan al-Nasa’i (4/201): Dari Usamah bin Zaid, berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa dalam bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh manusia antara Rajab dan Ramadhan.”

Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Syaukani berkata dalam kitabnya Nail al-Authar (4/291): “Hadits Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya puasa Rajab. Karena yang tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi SAW melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.”

Keempat, atsar dari ulama salaf yang saleh. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa beberapa ulama salaf yang saleh menunaikan ibadah puasa Rajab, seperti Hasan al-Bashri, Abdullah bin Umar dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadits seperti Mushannaf Ibn Abi Syaibah dan lain-lain.

Dalil Madzhab Hanbali

Sebagaimana dimaklumi, madzhab Hanbali berpendapat bahwa mengkhususkan puasa Rajab secara penuh dengan ibadah puasa adalah makruh. Akan tetapi kemakruhan puasa Rajab ini bisa hilang dengan dua cara, pertama, meninggalkan sehari atau lebih dalam bulan Rajab tanpa puasa. Dan kedua, berpuasa di bulan-bulan di luar Rajab, walaupun bulan tersebut tidak berdampingan dengan bulan Rajab.

Para ulama yang bermadzhab Hanbali, memakruhkan berpuasa Rajab secara penuh dan secara khusus, didasarkan pada beberapa hadits, antara lain:

Hadits dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Rajab, lalu beliau menjawab: “Di mana kalian dari bulan Sya’ban?” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/513] dan Abdurrazzaq [4/292]. Tetapi hadits ini mursal, alias dha’if).

Hadits Usamah bin Zaid. Ia selalu berpuasa di bulan-bulan haram. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Berpuasalah di bulan Syawal.” Lalu Usamah meninggalkan puasa di bulan-bulan haram, dan hanya berpuasa di bulan Syawal sampai meninggal dunia.” (HR. Ibn Majah [1/555], tetapi hadits ini dha’if. Hadits ini juga dinilai dha’if oleh Syaikh al-Albani.).

Hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW melarang puasa Rajab. (HR. Ibn Majah [1/554], tetapi hadits ini dinilai dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra [2/479], dan lain-lain).

Madzhab Hanbali juga berdalil dengan beberapa atsar dari sebagian sahabat, seperti atsar bahwa Umar pernah memukul orang karena berpuasa Rajab, atsar dari Anas bin Malik dan lain-lain. Tetapi atsar ini masih ditentang dengan atsar-atsar lain dari para sahabat yang justru melakukan puasa Rajab. Disamping itu, dalil-dalil para ulama yang menganjurkan puasa Rajab jauh lebih kuat dan lebih shahih sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Demikian catatan sederhana tentang hukum puasa Rajab. Wallahul muwaffiq.

Muhammad Idrus Ramli

Air Najis dan Air Tidak Najis


Imam Syafi'i berkata, "Air terbagi menjadi dua, yakni air mengalir dan air diam (tidak mengalir)."

A. Air Mengalir
 
Imam Syafi'i berkata, "Apabila ada bangkai, darah, atau barang najis (haram) lainnya jatuh ke dalam air yang mengalir, jika ia jatuh pada sisi di mana air menggenang dan tidak mengalir, maka air yang berada pada sisi itu di sebut air diam dan berhukum najis, tentunya jika air diam itu kurang dari lima qurb. Tapi jika air diam itu lebih dari lima qurb maka air diam itu tidaklah najis, kecuali jika ada perubahan rasa, warna dan bau. 

"Sesungguhnya yang disebut air mengalir adalah air yang tidak diam. Apabila ada bangkai hanyut atau sesuatu yang bercampur dengan air mengalir itu, maka seseorang boleh berwudhu dengan air yang mengalir yang mengikuti bangkai, karena air tersebut bukanlah air di mana bangkai berada dan najis tidak bercampur dengan air tersebut.

"Apabila air bervolume sedikit, maka seseorang boleh berwudhu menggunakan air di sekitar bangkai selama air yang ada di sekitar bangkai tidak kurang dari lima qurb. Apabila kurang dari lima qurb, maka ia hanya boleh berwudhu dengan air yang sudah ditinggalkan bangkai."

Imam Syafi'i juga berkata, "Jika air yang mengalir tersebut, baik sedikit maupun banyak, bercampur najis dan berubah baunya, rasanya, atau warnanya, maka air itu berhukum najis. Apabila aliran air melewati sesuatu yang berubah akibat bercampur dengan benda haram (najis) yang mengubah (salah satu sifatnya), kemudian ada air lain mengalir dan tidak berubah akibat najis, maka aliran air yang tidak berubah tersebut tetap suci, sementara air yang berubah tersebut berhukum najis."

Catatan:
Lima qurb sepadan dengan segi empat yang panjang, dalam dan luasnya seukuran 1 1/4 dzira'. Untuk ukuran melingkar dalamnya dua dzira' dengan garis tengah sepanjang satu dzira'. Untuk ukuran melingkar dzira' yang dipakai adalah dzira' yang dipakai dalam arsitektur. Sedangkan ukuran dzira' untuk segi empat adalah dzira' (lengan) manusia dewasa.  

B. Air Diam

Air diam terbagi dua:

Pertama, air yang tidak najis akibat bercampur dengan sesuatu yang haram; tentunya jika warna, bau, rasa sesuatu yang haram itu tidak mempengaruhi air. Apabila sesuatu yang haram itu berada dalam air dengan meninggalkan salah satu yang kami sebutkan tadi, maka air itu najis, baik air itu sedikit maupun banyak, baik air itu mengalir atau diam.

Kedua, air najis akibat bercampur dengan sesuatu yang haram meskipun sesuatu itu tidak berada dalam air. Apabila ada yang bertanya, apa dalil dalam membedakan air najis dan air tidak najis padahal keduanya tidak berubah? Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, sesungguhnya Nabi Saw bersabda: 'Apabila air sebanyak dua qullah, maka air itu tidak mengandung najis." (HR Turmudzi dan Abu Dawud -- pen)

Imam Syafi'i berkata: "Apbila volume airnya lima qurb maka air itu tidak mengandung najis, baik mengalir ataupun tidak mengalir. Apabila ada air kurang dari lima qurb kemudian bercampur dengan bangkai, maka air itu berhukum najis. Untuk menyucikan tempat air itu  seseorang hanya cukup membuang air itu dan mencucinya. Apabila ada air kurang dari lima qurb bercampur dengan sesuatu yang najis dan sesuatu yang najis itu tidak mempengaruhi air itu, maka air itu tetap berhukum najis. Apabila air itu ditambah dengan air lainnya hingga mencapai lima qurb atau lebih, maka air itu menjadi suci sebagaimana ketika air itu dituangkan ke air yang lebih sedikit atau lebih banyak dan kemudian keduanya menjadi lima qurb atau lebih. Apabila penambahan air itu membuatnya bervolume lima qurb maka air itu menjadi suci; dan apabila yang sudah menjadi lima qurb itu dibagi menjadi dua, maka keduanya tidak lagi najis kecuali jika ada najis yang jatuh ke dalam air itu."

Imam Syafi'i berkata: "Semua kotoran burung, baik yang dagingnya boleh dimakan ataupun tidak, apabila kotoran itu jatuh ke dalam air maka air itu berhukum najis karena kotorang itu menjadi basah dan meleleh oleh air. Keringat orang Kristen, orang junub, dan haid berhukum suci sebagaimana keringat orang Majusi. Keringat dan air liur semua binatang juga berhukum suci, kecuali keringat dan air liur anjing dan babi."

Imam Syafi'i berkata: "Seandainya ada orang berkeringat kemudian keringat itu menetes ke dalam air maka air itu tidak menjadi najis karena keringat manusia dan binatang tidak najis, meskipun keringat itu keluar dari lengan atau dari bagian tubuh lainnya." (Bersambung...)  

Senin, 13 April 2015

Hisablah Diri Kalian


Diriwayatkan bahwa dalam salah satu khutbahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq ra pernah berpesan:

"Hisablah diri kalian sebelum tiba waktu penghisaban kalian. Sungguh, tidaklah suatu kaum itu meninggalkan jihad fi sabilillah kecuali Allah akan menimpakan kefakiran pada mereka. Dan, tidaklah perbuatan zina itu merebak dalam suatu kaum, kecuali Allah akan menimpakan siksa-Nya pada mereka." (Lihat: Alauddin Ali Muttaqi al Hindi, Kanzul 'Ummal no. 14114)


Penjelasan:

Abu Bakar ash-Shiddiq ra memberikan nasihat kepada kita agar sesegara mungkin menghisab diri sendiri sebelum tiba saat penghisaban yang akan dilakukan Allah kepada kita. Menghisab diri sendiri artinya melakukan penimbangan atas amal kebaikan yang mendatangkan pahala yang telah kita lakukan dan amal keburukan yang mendatangkan dosa. Perhatikanlah, mana di antara keduanya yang lebih banyak. Yang terbaik adalah selalu menduga bahwa keburukan kita jauh lebih banyak daripada kebaikan. Sikap ini akan membuat kita senantiasa terdorong untuk melakukan amal kebajikan. 

J. Rinaldi dalam buku Nasihat-Nasihat Emas Khulafaur Rasyidin. 

Jilbab Punuk Onta?

 

Dalam sebuah hadits disebutkan:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا-رواه مسلم


“Ada dua golongan ahli neraka yang aku belum pernah melihatnya. Pertama, golongan yang membawa cambuk seperti ekor sapi, yang dengan cambuk itu mereka mencambuki orang-orang. Kedua, golongan perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, yang cenderung (tidak taat kepada Allah) dan mengajarkan orang lain untuk meniru perbuatan mereka. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring, dan mereka tidak akan masuk surga dan tidak mencium baunya. Padahal sungguh bau surga akan tercium dari jarak perjalanan seperti ini seperti ini (jarak yang jauh). (HR Muslim)


Di dalam hadits ini dijelaskan dua golongan ahli neraka. Dan dalam kesempatan ini kami akan menjelaskan mengenai golongan kedua saja untuk menyesuaikan dengan judul postingan ini.

Golongan kedua yang tidak akan masuk surga, yang digambarkan dalam hadits tersebut adalah para wanita yang berpakaian tetapi pakaiannya tidak menutupi auratnya, cenderung tidak taat menjalankan perintah dan larangan Allah Swt, dan mengajarakan orang lain untuk meniru mereka. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring.

Kalimat “kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring” acapkali dipahami untuk menyamakan wanita-wanita yang memakai jilbab tetapi kelihatan menonjol di belakang jilbab. Pertanyaannya, apakah penyamaan itu bisa dibenarkan? Untuk menjawabnya, maka kami akan menjelaskan apa sebenarnya arti dari kata asnimah al-bukht­.

Kata asnimah adalah bentuk plural atau jamak dari kata sanam. Dalam kamus Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur dikatakan sanam al-ba’ir wa an-naqah artinya adalah punggung unta yang paling tinggi atau menonjol. Atau kita terjemahkan dengan punuk unta.

سَنَامُ الْبَعِيرِ وَالنَّاقَةِ أَعْلَى ظَهْرِهَا وَالْجَمْعُ أَسْنِمَةٌ


Sanam al-ba’ir wa an-naqah (punuk unta) adalah punggung unta yang paling tinggi, dan bentuk plural atau jamak dari kata sanam adalah asnimah. (Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, Bairut-Dar ash-Shadir, cet ke-1, tt, juz, 12, h. 306).

Sedang kata al-bukht maknanya adalah salah satu jenis unta yang besar punuknya. Hal ini sebagaimana dikemukakan Imam al Qurthubi dalam kitab tafsir-nya yaitu al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an.

وَالْبُخْتُ ضَرْبٌ مِنَ الْإِبِلِ عِظَامُ الْأَجْسَامِ، عِظَامُ الْأَسْنِمَةِ


Al-bukht adalah salah satu jenis unta yang besar badannya yaitu besar punuknya”. (al Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Riyadl-Daru ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003 M, juz, 12, h. 311).

Berangkat dari penjelasan ini maka sabda Rasulullah Saw: “Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring” diartikan dengan “kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang besar punuknya dan miring”.  

Lantas bagaimana maksud bentuk kepala yang seperti punuk unta yang punuknya besar dan miring? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Menurut Imam Nawawi, tafsir atau penjelasan yang masyhur adalah mereka para wanita-wanita itu membesarkan kepalanya dengan kerudung (khimar), sorban (‘imamah) dan selainnya, yaitu dari sesuatu yang digulung di atas kepala sehingga menyerupai punuk-punuk unta.

Sedang menurut al-Marizi, mereka (wanita-wanita itu) suka memandang laki-laki, tidak menjaga pandangan dan tidak menundukkan kepala-kepala mereka.

Selanjutnya menurut al Qadli ‘Iyadh adalah mereka memilin jalinan rambut dan mengikatnya sampai ke atas lalu mengumpulkan di tengah kepala, maka menjadi seperti punuk unta. Hal ini sebagaimana dikemukan Imam Nawawi dalam Syarh Muslim.

وَأَمَّا رُؤُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ فَمَعْنَاهُ يُعَظِّمْنَ رُؤُوسَهُنَّ بِالْخُمُرِ وَالْعَمَائِمِ وَغَيْرِهَا مِمَّا يُلَفُّ عَلَى الرَّأْسِ حَتَّى تُشْبِهَ أَسْنِمَةَ الْإِبِلِ الْبُخْتِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ فِي تَفْسِيرِهِ قَالَ الْمَازِرِيُّ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَاهُ يَطْمَحْنَ إِلَى الرِّجَالِ وَلَا يَغْضُضْنَ عَنْهُمْ وَلَا يُنَكِّسْنَ رُؤُوسَهُنَّ وَاخْتَارَ الْقَاضِي أَنَّ الْمَائِلَاتِ تُمَشِّطْنَ الْمِشْطَةَ الْمَيْلَاءِ قَالَ وَهِيَ ضَفْرُ الْغَدَائِرِ وَشَدُّهَا إِلَى فَوْقُ وَجَمْعُهَا فِي وَسَطِ الرَّأْسِ فَتَصِيرُ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ قَالَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِالتَّشْبِيهِ بِأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ إِنَّمَا هُوَ لِارْتِفَاعِ الْغَدَائِرِ فَوْقَ رُؤُوسِهِنَّ وَجَمْعِ عَقَائِصِهَا هُنَاكَ وَتَكَثُّرِهَا بِمَا يُضَفِّرْنَهُ حَتَّى تَمِيلَ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنْ جَوَانِبِ الرَّأْسِ كَمَا يَمِيلُ السَّنَامُ


“Adapun “kepala-kepala mereka seperti punuk untu” maka pengertiannya adalah mereka membesarkan kepala-kepala dengan khimar (kerudung), tutup kepala wanita (al-khumur) dan kain sorban (al-‘ama`im) atau yang lainnya dari sesuatu yang digelung (dikonde) di atas kepala sehingga menyerupai punuk unta. Ini adalah tafsir yang masyhur. Menurut al-Maziri kalimat tersebut boleh diartikan dengan mereka memandang laki-laki tidak menahan pandangan atau memejamkan matanya dari melihat laki-laki dan tidak menundukkan kepalanya. Menurut al Qadhi ‘Iyadh bawha “wanita-wanita yang cenderaung (al-mailat)” maksudnya adalah mereka menyisir rambut mereka dengan model sisiran rambut para pelacur. Yaitu memilin jalinan rambut dan mengikatnya sampai ke atas lalu mengumpulkan di tengah kepala, maka menjadi seperti punuk unta. Menurut al Qadhi ‘Iyadh, hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan menyerupai punuk unta itu karena tingginya jalinan rambut di atas kepala, terkumpulnya jalinan rambut di situ, dan menjadi kelihatan banyak (lebat) dengan sesuatu yang mereka pilin sehingga miring ke salah satu sisi dari beberapa sisi kepala sebagaimana miringnya punuk”. (Muhyiddin an-Nawawi, al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim, Bairut-Daru Ihya` at-Turats al-‘Arabiy, cet ke-2, 1392 H, juz, 17, h. 191)    

    
Kalau kita cermati pendapat Imam Nawawi yang mengacu kepada pendapat mayoritas ulama dan pendapat Qadhi ‘Iyadh maka kita akan menemukan titik kesamaan. Yaitu sama-sama membuat rambut kepala terlihat banyak atau lebat dari yang semestinya dan menaikkannya di atas kepala, bukan di belakang kepala, sehingga menyerupai punuk unta.

Yang membedakan keduanya hanya pada soal teknisnya saja. Kalau yang pertama menambahkan pada rambutnya dengan semisal sorban, kerudung atau yang lainnya yang digelungkan di atas kepala. Sedang yang kedua, dengan rambutnya sendiri, dengan cara  memilin jalinan rambut dan mengikatnya sampai ke atas lalu mengumpulkan di tengah kepala, sehingga menjadi menonjol seperti punuk unta dan miring ke salah satu sisi kepalanya.

Dengan demikian, jika penjelasan di atas ditarik dalam konteks seorang wanita yang memiliki rambut panjang kemudian diikat dan terlihat menonjol di bagian belakang jilbab tetapi tidak menonjol di atas kepala, maka tidak masuk seperti punuk unta. Begitu juga dengan pemakaian daleman cemol. Sebab, tidak menjulang di atas kepala. Namun hal ini sepanjang tidak sampai menampakkan perhiasan kewanitaannya (izhhar az-zinah) dan menimbulkan fitnah.

Demikian penjelasan singkat ini, semoga bisa menambah wawasan kita semua. Dan sekedar saran, hendaklak seorang wanita tidak menggunakan pakaian, termasuk juga jilbab, yang terlalu mencolok yang dimaksudkan untuk menarik perhatian dan pandangan lawan jenis. Wallahu a’lam.

Minggu, 12 April 2015

Sunnah Mengusap Wajah Setelah Berdoa


Pada dasarnya doa merupakan ibadah yang sangat agung, dapat meningkatkan keimanan dan memperkuat manisnya keimanan di dalam hati seorang Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menganggap doa sebagai ibadah itu sendiri, dalam sebuah hadits:

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ”، ثُمَّ قَرَأَ: {وَقَالَ رَبُّكُـمْ ٱدْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ داخِرِينَ} --غافر:60


“An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Doa adalah ibadah.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat: “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir : 60).



Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (4/267), Abu Dawud [1479], al-Tirmidzi [2969], dan menilainya hasan shahih, Ibnu Majah [3828], dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban [890], al-Hakim [1802] serta al-Dzahabi.



Di antara adab dan etika berdoa, agar doa kita dikabulkan oleh Allah subhanahu wata’ala, adalah mengangkat kedua tangan, lalu mengusap wajah setelah berdoa. Tujuan mengusapkan tangan ke wajah tersebut, sepertinya mengandung relevansi yang sangat rasional, yaitu, bahwa ketika Allah tidak mengembalikan kedua tangan orang yang berdoa dengan keadaan kosong, seakan-akan kedua tangan tersebut memperoleh rahmat Allah subhanahu wata’ala. Maka wajar saja kalau rahmat tersebut diusapkan ke wajah, sebagai anggota badan yang paling mulia dan paling berhak dimuliakan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Shan’ani dalam Subulus Salam, juz 2 hal. 709.
 
Oleh karena itu para ulama fuqaha dari madzhab empat telah menetapkan kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa.


Madzhab Hanafi


Kesunnahan mengusap tangan setelah berdoa ditegaskan oleh para ulama fuqaha bermadzhab Hanafi. Dalam konteks ini, al-Imam Hasan bin Ammar as-Syaranbalali berkata:



ثُمَّ يَخْتِمُ بِقَوْلِهِ تَعَالىَ {سُبْحَانَ رَبِّكَ} اْلآَيَةَ؛ لِقَوْلِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: “مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَكْتَالَ بِالْمِكْيَالِ اْلأَوْفَى مِنَ الْأَجْرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلْيَكُنْ آَخِرُ كَلاَمِهِ إِذَا قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ {سُبْحَانَ رَبِّكَ} الآية”، وَيَمْسَحُ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ فِيْ آَخِرِهِ؛ لِقَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {إِذَا دَعَوتَ اللهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ} رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ كَمَا فِي الْبُرْهَانِ”) --حَاشِيَةُ الشَّرَنْبَلاَلِي عَلىَ دُرَرِ الْحُكَّامِ، 1/80
 
“Kemudian orang yang berdoa menutup doanya dengan firman Allah “Subhana rabbika” dan seterusnya. Berdasarkan perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu, “Barangsiapa yang menghendaki menerima takaran pahala dengan takaran yang sempurna pada hari kiamat, maka hendaklah akhir ucapannya dalam majlisnya adalah “subhana rabbika” dan seterusnya. Dan ia mengusap tangan dan wajahnya di akhir doanya, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila kamu berdoa kepada Allah, maka berdoalah dengan perut telapak tanganmu, dan janganlah berdoa dengan punggungnya. Apabila kamu selesai berdoa, maka usaplah wajahmu dengan kedua tangannya.” HR. Ibnu Majah, sebagaimana dalam kitab al-Burhan.” (Hasyiyah as-Syaranbalali ‘ala Durar al-Hukkam, juz 1 hal. 80).


Madzhab Maliki


Para fuqaha yang mengikuti madzhab Maliki juga menegaskan kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa. Al-Imam an-Nafrawi berkata:


وَيُسْتَحَبُّ أن يَمْسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ عَقِبَهُ -أي: الدُّعَاءِ- كَمَا كَانَ يَفْعَلُهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ
 

“Dan disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya setelah berdoa, sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (An-Nafrawi, al-Fawakih al-Dawani, juz 2, hal. 335).

Madzhab Syafi’i


Para fuqaha yang mengikuti madzhab Syafi’i juga menegaskan kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa. Dalam hal ini, al-Imam an-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:


وَمِنْ آَدَابِ الدُّعَاءِ كَوْنُهُ فِي الْأَوْقَاتِ وَالْأَمَاكِنِ وَالْأَحْوَالِ الشَّرِيْفَةِ وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ وَرَفْعُ يَدَيْهِ وَمَسْحُ وَجْهِهِ بَعْدَ فَرَاغِهِ وَخَفْضُ الصَّوْتِ بَيْنَ الْجَهْرِ وَالْمُخَافَتَةِ
     
“Di antara beberapa adab dalam berdoa adalah, adanya doa dalam waktu-waktu, tempat-tempat dan keadaan-keadaan yang mulia, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, mengusap wajah setelah selesai berdoa, memelankan suara antara keras dan berbisik.” (al-Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4 hal. 487).

Bahkan al-Imam an-Nawawi menegaskan dalam kitab at-Tahqiq tentang kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa, sebagaimana dikutip oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Asnal Mathalib juz 1 hal. 160, dan al-Khathib as-Syirbini dalam Mughnil Muhtaj juz 1 hal. 370.

Madzhab Hanbali


Madzhab Hanbali adalah madzhab resmi kaum Wahabi di Saudi Arabia. Ternyata para ulama fuqaha madzhab Hanbali, menegaskan bahwa pendapat yang dapat dijadikan pegangan oleh mereka, adalah kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa. Dalam konteks ini, al-Imam al-Buhuti menegaskan:

ثُمَّ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيهِ هُنَا) أي: عَقِبَ الْقُنُوْتِ (وَخَارَجَ الصَّلَاةِ) إِذَا دَعَا

 “Kemudian orang yang berdoa mengusapkan wajahnya dengan kedua tangannya setelah membaca doa qunut dan di luar shalat ketika selesai berdoa.” (Al-Buhuti, Syarh Muntaha al-Iradat juz 1 hal. 241, Kasysyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’ juz 1 hal. 420, dan al-Mirdawi, al-Inshaf fi Ma’rifat al-Rajih min al-Khilaf, juz 2 hal. 173).

Demikian pandangan para ulama fuqaha dari madzhab empat yang menegaskan kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa. Sedangkan dasar atau dalil para ulama dalam hal ini, adalah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau mengusap wajah dengan kedua tangannya setelah berdoa.


عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالىَ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ


 “Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengangkat kedua tangannya dalam berdoa, tidak mengembalikannya sehingga mengusap wajahnya dengan keduanya.” (HR. at-Tirmidzi [3386], dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/719 [1967]).

Berkaitan dengan hadits tersebut, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Bulugul Maram min Adillatil Ahkam sebagai berikut:


أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ، لَهُ شَوَاهِدُ مِنْهَا حَدِيْثُ ابْنِ عَبَّاسٍ عِنْدَ أَبِيْ دَاوُدَ, وَغَيْرِهِ, وَمَجْمُوْعُهَا يَقْضِيْ بِأَنَّهُ حَدِيْثٌ حَسَنٌ

 “Hadits tersebut diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan memiliki banyak penguat eksternal (syahid), antara lain hadits Ibnu Abbas menurut Abu Dawud dan lainnya, dan kesemuanya menetapkan bahwa hadits tersebut bernilai hasan.”

Hadits di atas menjadi dalil kesunnahan mengusap wajah dengan kedua tangan setelah selesai berdoa, sebagaimana ditegaskan oleh al-Shan’ani dalam Subulus Salam juz 2 hal. 709. Hadits lain yang menjadi dalil kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa adalah sebagai berikut:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لا تَسْتُرُوا الجُدُرَ، مَنْ نَظَرَ فِي كِتَابِ أَخِيهِ بِغَيرِ إِذْنِهِ فَإِنَّمَا يَنْظُرُ فِي النَّارِ، سَلُوا اللهَ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلا تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا، فَإِذَا فَرَغْتُمْ فَامْسَحُوا بِهَا وُجُوهَكُمْ
 
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian menutup tembok dengan kain. Barangsiapa yang melihat dalam buku saudaranya tanpa ijin, maka sebenarnya ia melihat ke neraka. Mohonlah kepada Allah dengan perut telapak tangan kamu. Dan janganlah kamu memohon kepada-Nya dengan punggungnya. Apabila kamu selesai berdoa, maka usaplah wajahmu dengannya.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud [1485], Ibnu Majah [3866], al-Hakim dalam al-Mustadrak [1968], dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra [3276]. Abu Dawud berkata: “Hadits tersebut diriwayatkan dari lebih satu jalur dari Muhammad bin Ka’ab, semua jalurnya lemah, dan jalur ini yang paling bagus. Jalur ini lemah pula.” Al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi mengutip dari al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Amali, bahwa hadits ini menurutnya bernilai hasan. (Lihat, as-Suyuthu, Fadhdhul Wi’a’ Fi Ahadits Raf’il Yadain bid-Du’a’, hal. 74).

Di sisi lain, mengusap wajah setelah selesai berdoa, juga diriwayatkan dari kaum salaf, antara lain sahabat Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Zubair. Juga dari al-Imam Hasan al-Bashri. Oleh karena itu, pandangan sebagian aliran baru yang membid’ahkan dan mengharamkan mengusap wajah setelah berdoa, adalah tidak benar. Kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa memiliki dalil yang kuat dan diikuti oleh para ulama fuqaha dari madzhab yang empat. Wallahu a’lam. (Muhammad Idrus Ramli)

Mengeraskan Basmalah dalam Shalat Jahriyah

Adapun membaca surat al-Fatihah termasuk rukun dan kewajiban shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Di antara bacaan yang terdapat dalam surah al-Fatihah adalah bacaan basmalah. Berkaitan dengan bacaan basmalah ini, ada tiga pendapat di kalangan ulama.

Pertama, membaca basmalah dihukumi wajib setiap membaca surah al-Fatihah dalam setiap raka’at. Bagi imam dalam shalat jahriyyah disunnahkan membacanya dengan keras. Demikian pendapat Imam al-Syafi’i dan kaum salaf. Kedua, membaca basmalah hukumnya sunnah ketika membaca surah al-Fatihah, dan sunnah dibaca secara pelan (sirran) dalam setiap shalat. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiga, membaca basmalah tidak diwajibkan dan tidak disunnahkan dalam shalat maktubah (fardhu). Tetapi boleh membacanya dalam shalat sunnah. Demikian pendapat Imam Malik.

Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat Imam al-Syafi’i lebih kuat dan lebih berhati-hati, karena hadits-hadits shahih yang sangat banyak mendukungnya. Antara lain adalah hadits-hadits berikut ini:

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأْتُمْ الْحَمْدُ للهِ فَاقْرَؤُوْا بِسْمِ اللهِ الرَّحمنِ الرَّحِيْمِ اِنَّهَا اُمُّ الْقُرآَنِ وَاُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْع الْمَثَانِيْ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اِحْدَى آَيَاتِهَا. (رواه الدارقطني والبيهقي بإسناد صحيح).


“Abu Hurairah RA berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apabila kamu membaca surat al-Hamdulillah, maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena sesungguhnya ia adalah induk al-Qur’an, induk al-Kitab dan tujuh ayat yang diulang-ulang. Sedangkan Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satu ayatnya.”


Hadits tersebut diriwayatkan oleh ad-Daraquthni (I/312) dan al-Baihaqi (as-Sunanul Kubra, II/45), dengan sanad yang shahih, baik secara mauquf maupun secara marfu’. Hadits tersebut juga dishahihkan oleh Syaikh al-Albani –ulama Wahabi kontemporer-, dalam beberapa kitabnya, antara lain dalam Shahihul Jami’ish Shaghir wa Ziyadatihi (I/261). Hadits di atas menjadi dalil wajibnya membaca basmalah dalam shalat, dan anjuran membacanya dengan keras dalam shalat jahriyah bagi imam.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَرَأَ الْفَاتِحَةَ ثُمَّ قَالَ وَلَقَدْ آَتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِيْ قَالَ هِيَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ اْلآَيَةُ السَّابِعَةُ. (رواه الطبراني بإسناد حسن كما قاله الحافظ ابن حجر في الفتح).


"Ibnu Abbas membaca surat al-Fatihah, kemudian berkata: “Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang”. Ibnu Abbas berkata: “Maksud tujuh ayat adalah Surat al-Fatihah. Sedangkan Bismillahirrahmanirrahim adalah ayat ketujuh”.

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Thabarani dengan sanad yang hasan, sebagaimana telah dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, VIII/382). Hadits tersebut menunjukkan wajibnya membasa basmalah dalam setiap shalat, karena bagian dari surat al-Fatihah yang wajib dibaca.

عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سُئِلَ أَنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ يَمُدُّ بِبِسْمِ اللهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ. (رواه البخاري)


“Qatadah berkata: “Anas ditanya tentang bagaimaca cara Nabi Shallallahu’alaihi wasallama membaca al-Qur’an?” Ia menjawab: “Nabi Shallallahu’alaihi wasallama membacanya dengan panjang”. Lalu Anas membaca bismillahirrahmanirrahim, memanjangkan bismillah, memanjangkan arrahman dan memanjangkan arrahim.” (HR. al-Bukhari [5046]).

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الصَّلاَةِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَعَدَّهَا آَيَةً.


“Dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama membaca dalam shalat, bismillahirrahmanirrahim, dan menghitungnya sebagai satu ayat (dari al-Fatihah).”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (IV/37), ad-Daraquthni (I/307), al-Hakim dalam al-Mustadrak (II/231), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (II/44) dan lain-lain dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut juga dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani (ulama Wahabi) dalam kitabnya Irwa’ul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil (II/59-60). Hadits tersebut menjadi dalil wajibnya membaca basmalah dalam shalat.

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فِي الصَّلاَةِ. (رَوَاهُ الْبَزَّارُ وَرِجَالُهُ مُوْثَقُوْنَ)


“Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallama mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahim dalam shalatnya.” 

Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan para perawinya dapat dipercaya sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh al-Haitsami (Majma’uz Zawaid, II/109).

عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقَالَ آمِينَ فَقَالَ النَّاسُ آمِينَ … قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه النسائي، وصححه ابن خزيمة وابن حبان والبيهقي).


“Nu’aim al-Mujmir berkata: “Aku shalat di belakang Abu Hurairah, lalu ia membaca bismillahirrahmanirrahim, kemudian membaca Ummul Qur’an, sehingga setelah sampai pada ghairil maghdhubi ‘alaihim walad-dhallin, maka ia berkata, amin. Lalu orang-orang juga berkata, amin… Lalu Abu Hurairah berkata: “Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling menyerupai kamu shalatnya dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama”.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh an-Nasa’i (II/134), dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah (I/251), Ibnu Hibban (V/100), ad-Daraquthni (I/309), al-Hakim (al-Mustadrak, I/232) dan al-Baihaqi (as-Sunanul Kubra II/58). Hadits tersebut juga dishahihkan oleh al-Imam an-Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, II/267). Dalam hadits tersebut, sahabat Abu Hurairah mengeraskan bacaan basmalah, sehingga didengar oleh jamaah di belakangnya, dan beliau berkata bahwa shalat beliau persis dengan shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat.

Apabila hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat, lalu bagaimana dengan hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya yang menyatakan sebaliknya? Hadits tersebut teksnya begini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ (الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) لاَ يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِى أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلاَ فِى آخِرِهَا.


“Anas bin Malik berkata: “Aku shalat di belakang Nabi Shallallahu’alaihi wasallama, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka memulai dengan alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Mereka tidak menyebut bismillahirrahmanirrahim di awal bacaan dan di akhirnya”. (HR. Muslim [918]).



Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama, Abu Bakar, Umar dan Utsman memulai shalatnya dengan bacaan alhamdulillahi rabbil ‘alamin, tanpa membaca basmalah di awal dan di akhirnya. Menanggapi hadits tersebut, para ulama memberikan beberapa jawaban yang cukup ilmiah.

Pertama, redaksi “Mereka tidak menyebut bismillahirrahmanirrahim di awal bacaan dan di akhirnya”, bukan pernyataan sahabat Anas bin Malik, akan tetapi pernyataan sebagian perawi yang memahaminya dari redaksi sebelumnya. Padahal maksud perkataan sahabat Anas, “Mereka memulai dengan alhamdulillahi rabbil ‘alamin”, memulai dengan surat alhamdulillahi rabbil ‘alamin, salah satu nama dari surat al-Fatihah, bukan tidak membaca basmalah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits Abu Hurairah yang perawinya dapat dipercaya (Majma’uz Zawaid, II/109).

Kedua, hadits Muslim tersebut juga bertentangan dengan hadits al-Bukhari sebelumnya yang menyebutkan bahwa Nabi SAW membaca basmalah dengan dipanjangkan.

Ketiga, para ulama yang menulis kitab mushthalahul hadits, menjadikan hadits Anas bin Malik tersebut sebagai contoh hadits yang mengandung illat (mu’all), yang kapasitasnya lemah untuk dijadikan hujjah. (Lihat, az-Zarkasyi, an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibnis-Shalah II/212; Ibnu Hajar al-‘Asqalani, an-Nukat ‘ala Kitab Ibnis-Shalah hal. 749; as-Sakhawi, Fathul Mughits, I/209; as-Suyuthi, Tadribur Rawi, 298 dan lain-lain).

Keempat, persoalan apakah Nabi Shallallahu’alaihi wasallama membaca basmalah atau tidak di dalam shalat, adalah persoalan yang tidak ada dalam hafalan sahabat Anas. Imam Ahmad meriwayatkan:

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَبِيْ مَسْلَمَةَ قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسًا أَكَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ  أَوِ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَقَالَ اِنَّكَ لَتَسْأَلُنِيْ عَنْ شَيْءٍ مَا أَحْفَظُهُ أَوْ مَا سَأَلَنِيْ أَحَدٌ قَبْلَكَ.


“Sa’id bin Zaid Abi Maslamah berkata: “Aku bertanya kepada Anas, apakah Nabi Shallallahu’alaihi wasallama membaca bismillahirrahmanirrahim atau alhamdulillahi rabbil ‘alamin?” Lalu ia berkata: “Sungguh kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu yang aku tidak menghafalnya, atau sesuatu yang belum pernah soleh seseorang kepadaku”.

Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad (al-Musnad, [12723]) dan dishahihkan oleh ad-Daraquthni.
Kelima, hadits di atas bertentangan dengan hadits lain yang menyatakan bahwa Khalifah yang empat, lebih-lebih Khalifah Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhum, mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat. (Lihat, al-Baihaqi, Ma’rifatus Sunan wal-Atsar, II/372-378).

Keenam, hadits di atas juga bertentangan dengan tradisi penduduk Madinah, yang mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Syafi’i dan lain-lain. (Lihat, Ibnu Abdil Barr, al-Inshaf, hal. 192; al-Ghumari, at-Thuruqul Mufashshalah, hal. 47).

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat jahriyah, lebih kuat dari sisi dalil, daripada pendapat yang membacanya pelan atau tidak membacanya sama sekali. Wallahu a’lam. (Muhammad Idrus Ramli)

Ahsanu Taqwim


Dalam al Qur'an (QS 95: 4), Allah Swt menyatakan manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, ahsanu taqwim. Maksudnya, manusia diciptakan dalam tampilan dan sosok fisikal yang sedemikian rupa memenuhi standar dan syarat untuk bisa menjalani kehidupannya di dunia yang penuh tantangan ini.

Ini artinya, manusia diciptakan dengan memenuhi standar kelayakan untuk mampu menjalani kehidupan, yakni diberi organ tubuh yang lengkap dan sehat sebagaimana lazimnya. Bahasa teknisnya, manusia lahir ke dunia dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Jadi, yang dimaksud dengan ahsanu taqwim bukanlah berkaitan dengan persoalan estetika erotis: cantik, tampan, langsing, atletis, dan sejenisnya.

Masalah cantik, tampan, dan seterusnya tergantung dari bahan mentahnya. Lantas mengapa kita tidak jarang menjumpai anak-anak yang lahir dalam keadaan tidak normal, lahir tidak sebagaimana lazimnya? Misalnya, lahir cacat fisik, cacat mental, dan semacamnya? Siapakah yang salah? Tuhankah, dengan pertimbangan Dia sebagai Khalik (Pencipta)? Jika memang Tuhan, berarti Dia menyalahi karakter azali-Nya untuk menciptakan manusia hanya dalam sebaik-baik bentuk.

Untuk meneropong masalah ini, ada baiknya jika merujuk pada disiplin Ulumul Quran. Menurut Hamim Ilyas, doktor Ulumul Quran dari IAIN Sunan Kalijaga, ketika Tuhan, di dalam al Qur'an, mengidentifikasi suatu perbuatan yang merujuk pada-Nya dengan kata ganti 'Kami' (Nahnu, Inna, dan sejenisnya), pola seperti itu menunjukkan bahwa di dalam proses perwujudan perbuatan tersebut ada keterlibatan pihak (subjek) lain, bukan hanya aktivitas Dia sendiri.

Misalnya, ketika Tuhan menyatakan, 'Sesungguhnya Kami (Inna) yang menurunkan al Qur'an dan sesungguhnya Kami-lah yang akan menjaganya', mengandung pengertian bahwa bukan Tuhan sendirian yang aktif menjaga al Qur'an, tetapi melibatkan pihak lain. Pihak lain itu bisa saja para penghafal al Qur'an, ulama, kiai, dan umat Islam pada umumnya.

Begitupun halnya ketika Tuhan mengidentifikasi dengan kata 'Kami' dalam hal penciptaan manusia, ''Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.'' (At-Tiin: 4). Ayat ini menunjukkan adanya pola kerja sama antara Tuhan dan makhluk-Nya di dalam proses terwujudnya perbuatan tersebut (menciptakan manusia). Jadi, ahsanu taqwim kita bukanlah semata-mata hasil kerja Tuhan sendiri, kun fayakun, jadilah indah (ahsanu taqwim)! Ada keterlibatan/peran kita di dalam prosesnya.

Manusia ikut berperan dalam menentukan indah atau tidak bentuk ciptaan Tuhan atas manusia. Dan, Tuhan tidak pernah salah! Mengapa anak-anak lahir cacat? Banyak faktor manusiawi yang melatarinya, misalnya, karena orang tuanya suka berganti pasangan sehingga tertular penyakit kelamin; karena orang tuanya tidak menjaga kesehatan tubuhnya saat mengandung; karena pemerintah menoleransi perzinahan dan pelacuran; karena pemerintah tidak memperhatikan kesehatan kaum perempuan. Kesehatan kelamin, kesehatan fisik kaum perempuan (yang hamil), sangat berpengaruh bagi terwujud atau tidaknya ahsanu taqwim. Wallahu a'lam.

Sabtu, 11 April 2015

Memahami Pengertian Bid'ah

Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan:
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah SAW. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).

Menurut pengertian yang diberikan oleh Imam Izzuddin bin Abdissalam ini, seluruh perbuatan atau amalan keagamaan yang belum ada dan tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW adalah bid’ah, meskipun perbuatan itu adalah perbuatan yang baik.

Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushhaf, menulis kitab-kitab hadits, membukukan berbagai kajian fiqh dan tafsir, memperingati maulid Nabi SAW, khutbah dengan selain bahasa Arab, menunaikan ibadah haji dengan naik pesawat, arisan haji, pengajian setiap Ahad pagi, dan berbagai macam amalan baik lainnya adalah bid’ah. Mengapa? Karena semua hal itu belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW.

Namun demikian beliau tidak berpandangan bahwa semua yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW dianggap sebagai bid’ah dhalalah (bid’ah sesat dan tercela), yang pelakunya diancam akan disiksa di dalam neraka. Beliau justru membagi bid’ah ke dalam lima bagian. Ketika menjelaskan kelima macam bid’ah itu beserta contoh-contohnya, beliau berkata: 

Bid’ah wajibah (bid’ah wajib) memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang dhaif (lemah). Bid’ah muharramah (bid’ah haram) memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran Qadariyah, Jahamiyah, Murji’ah, dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap berbagai bid’ah tersebut termasuk bid’ah yang wajib.

Bid’ah mandubah (bid’ah sunnah) memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan madrasah-madrasah, jembatan-jembatan, dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa generasi awal, di antaranya adalah shalat Tarawih. Bid’ah makruhah (bid’ah makruh) memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf al-Qur’an. Bid’ah mubahah (bid’ah mubah) memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran...” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/173).

Lima macam bid’ah ini bisa dikelompokkan menjadi dua bagian besar, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i berikut ini:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ اِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلاَلَةِ  وَمَا اُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًَا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌُ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍِ
“Perkara yang baru terbagi menjadi dua bagian. Pertama, sesuatu yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Atsar (apa yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkari), inilah bid’ah yang sesat. Kedua perkara yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, inilah sesuatu yang baru yang tidak tercela.” (Manaqib al-Syafi’i, 1/469).

Kalau kita perhatikan ungkapan Imam Syafi’i di atas terlihat dengan jelas bahwa beliau membagi bid’ah ke dalam dua kategori: bid’ah dhalalah (bid’ah sesat/tercela) dan bid’ah hasanah (bid’ah terpuji/baik). Yang menjadi tolok ukur dalam membedakan mana bid’ah tercela dan mana bid’ah terpuji adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar para sahabat, dan Ijma’ para ulama. Jika sesuatu yang baru itu bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’, maka ia tergolong bid’ah dhalalah. Sedangkan apabila ia bersesuaian dengan hal-hal tersebut, maka ia tergolong bid’ah hasanah, sekalipun belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW.

Bahkan Imam Syafi’i menafikan nama bid’ah terhadap sesuatu yang memiliki landasan syar’i meskipun belum pernah diamalkan pada masa salaf.

Simaklah perkataan beliau berikut ini:
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ تَرْكَهُمْ لِلْعَمَلِ بِهِ قَدْ يَكُوْنُ لِعُذْرٍِ قَامَ لَهُمْ فِي الْوَقْتِ أَوْ لِمَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْ جَمِيْعَهُمْ عِلْمٌ بِهِ -- الحافظ الغمار، إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة، ص/٥
“Segala sesuatu yang memiliki dasar dari dalil-dalil syar’i, maka bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amalan lain yang lebih utama, dan atau barangkali hal itu belum terlintas di dalam pengetahuan mereka.”

Ketika Imam Syafi’i berkata demikian tentunya Anda tidak akan berpikir bahwa ucapan itu tanpa dalil. Namun rasanya kurang tepat bila tidak kami sertakan di sini dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat beliau saat membagi bid’ah menjadi dua bagian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Dalil Pertama:
Hadits yang bersumber dari Aisyah ra yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
‏ ‏مَنْ ‏ ‏أَحْدَثَ ‏ ‏فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ ‏‏رَدٌّ
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syariat ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak.” (HR Muslim). 

Dalil Kedua:
Hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdillah al-Bajali ra yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut, juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barangsiapa merintis dalam Islam sunnah (perbuatan) yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut, juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim).

Coba perhatikan hadits tersebut. Tidakkah di dalamnya terdapat kebolehan, bahkan anjuran agar setiap Muslim mengadakan (menciptakan) sunnah hasanah (perbuatan baik). Ada janji Nabi SAW di dalam hadits tersebut yang menyatakan bahwa seorang Muslim yang merintis perbuatan baik di dalam agama ini, lalu ada orang lain yang mengikutinya, maka ia akan memperoleh dua macam pahala: pahala karena ia telah merintis sebuah perbuatan baik dan pahala karena ada orang lain yang mengikuti perbuatan baik yang dirintisnya itu. 

Sebaliknya, yang dilarang adalah merintis (menciptakan/mengadakan) perbuatan buruk. Nabi SAW mengancam orang-orang yang melakukan hal ini dengan dua macam dosa: dosa rintisannya terhadap perbuatan buruk dan dosa karena ada orang yang mengikuti perbuatan buruknya itu. 

Dalil Ketiga:
Hadits yang bersumber dari Abdurrahman bin Abd al-Qari ra, tentang perkataan Umar bin Khaththab ra berkaitan dengan shalat Tarawih berjamaah yang beliau anjurkan:
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”  (HR Bukhari dan Malik).

Berdasarkan pada tiga hadits di atas muncullah pendapat Imam Syafi’i seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amalan yang akan menambah syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. (J. Rinaldi)