Sebelumnya Santri Gaten telah memberikan pembahasan tentang Tujuh Macam Air untuk Bersuci. Bagi yang belum membaca, silakan simak di sini.
Berikut ini Santri Gaten akan mengajak pembaca semua untuk membahas lebih dalam tentang Macam-Macam Air, dan ini merupakan kelanjutan dari pembahasan Tujuh Macam Air untuk Bersuci.
Dari ketujuh macam air yang telah dibahas sebelumnya, para ulama membaginya ke dalam 4 bagian:
- Air suci dan mensucikan dan tidak makruh bila digunakan untuk bersuci. Air ini biasa dinamakan sebagai air muthlaq. [1]
- Air suci dan mensucikan, namun makruh bila digunakan untuk bersuci. Yang dimaksud dengan keterangan ini adalah air yang sudah terkena panas matahari. Air ini biasa dinamakan sebagai air musyammas. [2]
- Air suci tapi tidak mensucikan, yakni air musta'mal, [3] dan air yang telah berubah, baik warna, bau, maupun rasanya, karena barang (sesuatu) yang suci yang mencampurinya.[4]
- Air najis (mutanajjis), yakni air yang kurang dari dua qullah yang terkena najis [5], atau air dua qullah/lebih yang kemudian berubah karena tercampur najis [6] . Yang dimaksud dua qullah adalah setara dengan 500 kati Baghdad, menurut qaul yang paling shahih. [7]
Dalil-dalil
[1] Dasar kesucian dari air muthlaq adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lain-lain, dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: Seorang A'rabi (Arab dusun) berdiri dan kencing di dalam masjid. Maka orang-orang pun lalu berdiri hendak menghardiknya. Lalu, Nabi Saw bersabda:
دَعُوْهُ
وَهَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ -اَوْ ذَنُوْبًا مِنْ مَاءٍ- فَاِنَّمَا
بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ
"Tinggalkan dia, dan siramkan setimba air di atas kencingnya. Bahwasanya kalian diutus untuk membuat kemudahan, bukannya diutus untuk membuat kesusahan."
[2] Yang dimaksud adalah air yang berada dalam bejana yang terbuat dari logam (selain emas dan perak) dan terkena panas matahari. Dimakruhkan karena ada yang mengatakan bahwa air tersebut dapat menyebabkan kerusakan kulit (kulit menjadi belang). Kemakruhan ini hanya berlaku bila dipakai untuk badan, serta di daerah-daerah yang beriklim panas, seperti tanah Arab.
[3] Yakni air yang telah dipakai untuk mensucikan hadats. Dasar kesuciannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata: "Rasulullah Saw datang menjengukku ketika aku sedang sakit hingga tak sadarkan diri karena parahnya. Kemudian beliau berwudhu dan menyiramku dengan air (yang telah beliau gunakan untuk) berwudhu."
Bila air tersebut telah tidak suci lagi, maka pastilah tidak mungkin dituangkan oleh Rasulullah Saw kepada Jabir ra.
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa air itu telah tidak dapat dipakai lagi untuk bersuci, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dan selainnya, dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
لاَ
يَغْتَسِلُ اَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
"Janganlah seseorang di antara kalian mandi di air yang diam (tidak mengalir), sedangkan ia dalam keadaan junub."
Ketika orang-orang menanyakan: "Wahai Abu Hurairah, lantas bagaimana ia harus berbuat?" Beliau pun menjawab: "Dengan menciduknya."
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa mandi dengan cara menceburkan diri ke dalam air dapat menghilangkan sifat mensucikan dari air itu sendiri. Sebab bila tidak, maka tidak mungkin hal itu dilarang oleh Nabi Saw.
Air yang disebutkan di atas adalah yang sedikit. Menggunakan air tersebut untuk berwudhu adalah sama saja dengan mandi, karena keduanya memiliki maksud yang sama, yakni menghilangkan hadats.
[4] Yang dimaksud "..barang suci yang mencampurinya" adalah, semisal teh, kopi, dan sebagainya. Air ini tidak dapat dipakai lagi untuk bersuci karena sudah kehilangan sifat muthlaq-nya.
[5] Diriwayatkan oleh Khamsah dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata: "Saya mendengar Rasulullah Saw ketika ditanya tentang air yang berada di padang pasir dan hewan-hewan buas serta binatang-binatang datang ke sana untuk minum; beliau bersabda:
اِذَا
كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ -وفى لفظ لابي داود- فَاِنَّهُ
لاَ يَنْجُسُ
"Bila air itu adalah dua qullah, maka (ia) tidak mengandung kotoran" - dalam lafazh riwayat Imam Abu Dawud- "... sesungguhnya air itu tidak najis."
Mafhum dari hadits di atas adalah bilamana air itu kurang dari dua qullah, maka akan menjadi najis walaupun tidak berubah. Pe-mafhum-an ini dikukuhkan pula oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
اِذَا
اسْتَيْقَظَ اَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمِسْ يَدَهُ فِى اْلاِنَاءِ حَتَّى
يَغْسِلَهَا ثَلاَثًا فَاِنَّهُ لاَ يَدْرِيْ
اَيْنَ بَاتَتْ يَدهُ
"Bila seseorang di antara kalian bangun dari tidurnya maka janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sehingga ia mencucinya (terlebih dahulu) tiga kali. Karena ia tidak tahu di mana tangan itu bermalam."
Bahwasanya orang yang baru bangun dari tidurnya dilarang mencelupkan tangannya karena dikhawatirkan akan mengotori air dengan najis yang tidak diketahuinya. Dan kita telah maklum, bahwa najis yang tak nampak oleh mata tidak akan mengubah sifat-sifat air. Bila saja najis itu tidak menajiskan air, tentu hal itu tidak dilarang.
[6] Dalilnya adalah ijma'. Dikatakan di dalam al Majmu' Syarh al Muhadzdzab: "Berkata Ibnul Mundzir: Para Ulama telah sepakat (ijma') bahwa air yang sedikit atau banyak bila terkena najis sampai mengubah rasa, warna, dan baunya, maka air itu telah menjadi najis.
[7] Dua qullah : +/- 190 liter. Atau bila dalam kolam persegi empat, maka panjang, lebar dan tingginya masing-masing 1 1/4 hasta. Bila kolamnya bundar, maka garis tengahnya 1 hasta, dalamnya 2 1/4 hasta, dan kelilingnya 3 1/7 hasta.
0 komentar:
Posting Komentar