Dalam sebuah
hadits disebutkan:
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ
يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ
مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ
الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ
كَذَا وَكَذَا-رواه مسلم
“Ada
dua golongan ahli neraka yang aku belum pernah melihatnya. Pertama, golongan
yang membawa cambuk seperti ekor sapi, yang dengan cambuk itu mereka mencambuki
orang-orang. Kedua, golongan perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, yang
cenderung (tidak taat kepada Allah) dan mengajarkan orang lain untuk meniru
perbuatan mereka. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring, dan
mereka tidak akan masuk surga dan tidak mencium baunya. Padahal sungguh bau
surga akan tercium dari jarak perjalanan seperti ini seperti ini (jarak yang
jauh). (HR Muslim)
Di
dalam hadits ini dijelaskan dua golongan ahli neraka. Dan dalam kesempatan ini
kami akan menjelaskan mengenai golongan kedua saja untuk menyesuaikan dengan judul
postingan ini.
Golongan
kedua yang tidak akan masuk surga, yang digambarkan dalam hadits tersebut
adalah para wanita yang berpakaian tetapi pakaiannya tidak menutupi auratnya,
cenderung tidak taat menjalankan perintah dan larangan Allah Swt, dan
mengajarakan orang lain untuk meniru mereka. Kepala-kepala mereka seperti
punuk-punuk unta yang miring.
Kalimat
“kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring” acapkali dipahami untuk
menyamakan wanita-wanita yang memakai jilbab tetapi kelihatan menonjol di
belakang jilbab. Pertanyaannya, apakah penyamaan itu bisa dibenarkan? Untuk
menjawabnya, maka kami akan menjelaskan apa sebenarnya arti dari kata asnimah
al-bukht.
Kata
asnimah adalah bentuk plural atau jamak dari kata sanam.
Dalam kamus Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur dikatakan sanam
al-ba’ir wa an-naqah artinya adalah punggung unta yang paling tinggi atau
menonjol. Atau kita terjemahkan dengan punuk unta.
سَنَامُ
الْبَعِيرِ وَالنَّاقَةِ أَعْلَى ظَهْرِهَا وَالْجَمْعُ أَسْنِمَةٌ
“Sanam
al-ba’ir wa an-naqah (punuk unta) adalah punggung unta yang paling tinggi,
dan bentuk plural atau jamak dari kata sanam adalah asnimah.
(Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, Bairut-Dar ash-Shadir, cet ke-1, tt, juz, 12, h.
306).
Sedang
kata al-bukht maknanya adalah salah satu jenis unta yang besar
punuknya. Hal ini sebagaimana dikemukakan Imam al Qurthubi dalam kitab
tafsir-nya yaitu al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an.
وَالْبُخْتُ
ضَرْبٌ مِنَ الْإِبِلِ عِظَامُ الْأَجْسَامِ، عِظَامُ الْأَسْنِمَةِ
“Al-bukht
adalah salah satu jenis unta yang besar badannya yaitu besar punuknya”. (al Qurthubi,
al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Riyadl-Daru ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003
M, juz, 12, h. 311).
Berangkat
dari penjelasan ini maka sabda Rasulullah Saw: “Kepala-kepala mereka seperti
punuk-punuk unta yang miring” diartikan dengan “kepala-kepala mereka seperti
punuk-punuk unta yang besar punuknya dan miring”.
Lantas
bagaimana maksud bentuk kepala yang seperti punuk unta yang punuknya besar dan
miring? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Menurut
Imam Nawawi, tafsir atau penjelasan yang masyhur adalah mereka para
wanita-wanita itu membesarkan kepalanya dengan kerudung (khimar),
sorban (‘imamah) dan selainnya, yaitu dari sesuatu yang digulung di
atas kepala sehingga menyerupai punuk-punuk unta.
Sedang
menurut al-Marizi, mereka (wanita-wanita itu) suka memandang laki-laki, tidak
menjaga pandangan dan tidak menundukkan kepala-kepala mereka.
Selanjutnya
menurut al Qadli ‘Iyadh adalah mereka memilin jalinan rambut dan mengikatnya
sampai ke atas lalu mengumpulkan di tengah
kepala, maka menjadi seperti punuk unta. Hal ini sebagaimana dikemukan Imam Nawawi
dalam Syarh Muslim.
وَأَمَّا رُؤُوسُهُنَّ
كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ فَمَعْنَاهُ يُعَظِّمْنَ رُؤُوسَهُنَّ بِالْخُمُرِ
وَالْعَمَائِمِ وَغَيْرِهَا مِمَّا يُلَفُّ عَلَى الرَّأْسِ حَتَّى تُشْبِهَ
أَسْنِمَةَ الْإِبِلِ الْبُخْتِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ فِي تَفْسِيرِهِ قَالَ
الْمَازِرِيُّ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَاهُ يَطْمَحْنَ إِلَى الرِّجَالِ
وَلَا يَغْضُضْنَ عَنْهُمْ وَلَا يُنَكِّسْنَ رُؤُوسَهُنَّ وَاخْتَارَ الْقَاضِي
أَنَّ الْمَائِلَاتِ تُمَشِّطْنَ الْمِشْطَةَ الْمَيْلَاءِ قَالَ وَهِيَ ضَفْرُ
الْغَدَائِرِ وَشَدُّهَا إِلَى فَوْقُ وَجَمْعُهَا فِي وَسَطِ الرَّأْسِ فَتَصِيرُ
كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ قَالَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِالتَّشْبِيهِ
بِأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ إِنَّمَا هُوَ لِارْتِفَاعِ الْغَدَائِرِ فَوْقَ
رُؤُوسِهِنَّ وَجَمْعِ عَقَائِصِهَا هُنَاكَ وَتَكَثُّرِهَا بِمَا يُضَفِّرْنَهُ
حَتَّى تَمِيلَ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنْ جَوَانِبِ الرَّأْسِ كَمَا يَمِيلُ
السَّنَامُ
“Adapun
“kepala-kepala mereka seperti punuk untu” maka pengertiannya adalah mereka
membesarkan kepala-kepala dengan khimar (kerudung), tutup kepala wanita
(al-khumur) dan kain sorban (al-‘ama`im) atau yang lainnya
dari sesuatu yang digelung (dikonde) di atas kepala sehingga menyerupai punuk
unta. Ini adalah tafsir yang masyhur. Menurut al-Maziri kalimat tersebut boleh
diartikan dengan mereka memandang laki-laki tidak menahan pandangan atau
memejamkan matanya dari melihat laki-laki dan tidak menundukkan kepalanya.
Menurut al Qadhi ‘Iyadh bawha “wanita-wanita yang cenderaung (al-mailat)”
maksudnya adalah mereka menyisir rambut mereka dengan model sisiran rambut para
pelacur. Yaitu memilin jalinan rambut dan mengikatnya sampai ke atas lalu
mengumpulkan di tengah kepala, maka menjadi seperti punuk unta. Menurut al Qadhi
‘Iyadh, hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan menyerupai punuk unta itu
karena tingginya jalinan rambut di atas kepala, terkumpulnya jalinan rambut di
situ, dan menjadi kelihatan banyak (lebat) dengan sesuatu yang mereka pilin
sehingga miring ke salah satu sisi dari beberapa sisi kepala sebagaimana
miringnya punuk”. (Muhyiddin an-Nawawi, al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim,
Bairut-Daru Ihya` at-Turats al-‘Arabiy, cet ke-2, 1392 H, juz, 17, h. 191)
Kalau
kita cermati pendapat Imam Nawawi yang mengacu kepada pendapat mayoritas ulama
dan pendapat Qadhi ‘Iyadh maka kita akan menemukan titik kesamaan. Yaitu
sama-sama membuat rambut kepala terlihat banyak atau lebat dari yang semestinya
dan menaikkannya di atas kepala, bukan di belakang kepala, sehingga
menyerupai punuk unta.
Yang
membedakan keduanya hanya pada soal teknisnya saja. Kalau yang pertama
menambahkan pada rambutnya dengan semisal sorban, kerudung atau yang lainnya
yang digelungkan di atas kepala. Sedang yang kedua, dengan rambutnya sendiri,
dengan cara memilin jalinan rambut dan mengikatnya sampai ke atas lalu
mengumpulkan di tengah kepala, sehingga menjadi menonjol seperti punuk unta dan
miring ke salah satu sisi kepalanya.
Dengan
demikian, jika penjelasan di atas ditarik dalam konteks seorang wanita yang memiliki
rambut panjang kemudian diikat dan terlihat menonjol di bagian belakang jilbab
tetapi tidak menonjol di atas kepala, maka tidak masuk seperti punuk
unta. Begitu juga dengan pemakaian daleman cemol. Sebab, tidak menjulang di
atas kepala. Namun hal ini sepanjang tidak sampai menampakkan perhiasan
kewanitaannya (izhhar az-zinah) dan menimbulkan fitnah.
Demikian
penjelasan singkat ini, semoga bisa menambah wawasan kita semua. Dan sekedar saran,
hendaklak seorang wanita tidak menggunakan pakaian, termasuk juga jilbab, yang
terlalu mencolok yang dimaksudkan untuk menarik perhatian dan pandangan lawan
jenis. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar